Perspektifmu tentang sosok ulama itu apakah sama denganku?
Kau menganggap ulama itu orang yang hanya bermodal hafalan sepotong-sepotong ayat al-Quran dan Hadits, lalu disampaikannya ke publik dengan berbagai macam asesoris pakaiannya yang menyamai orang Arab, dan mudah mengumbar kata-kata kasar hingga seluruh binatang yang tak bersalah apa-apa dibawa-bawa namanya. Atau kalau bukan yang seperti itu, kau mengira ulama itu adalah orang yang bicaranya santun, lembut, banyak sedekahnya, akan tetapi dalam kesantunannya, dalam kelembutannya terdapat banyak duri yang kerap melukai perasaan orang lain yang tak bersalah tanpa dapat kau mengerti karena begitu lihainya ia menyembunyikan duri di balik kelembutan dan kesantunannya. Dalam sedekahnya terdapat banyak kas negara yang telah diambilnya dari para pencoleng yang ingin berlindung di bawah nama besarnya.
Ulama dalam pikiranku dan yang selalu ku puja dari dalam hatiku yang sepi itu, bukanlah ulama yang seperti itu. Ulama yang aku cintai, sayangi dan kagumi adalah ulama-ulama yang sederhana. Ia hafal berbagai ayat al-Quran, Hadits dan memahami arti sunnah Nabi tetapi tak pernah membubuhkan Kyai Haji di depan namanya. Ulama yang karena keprihatinannya pada keadaan perekonomian umat yang banyak mengalami kesusahan, ia tak pernah memamerkan kekayaannya. Ulama yang meski luas wawasan keilmuannya ia tak pernah mudah menyesatkan orang lain yang tak sehaluan dengan pandangannya. Ulama yang meski tampan wajahnya tak pernah menggandakan istrinya. Ulama yang meski sudah sepuh dan mengerti benar persoalan berbagai zaman tapi tak pernah merasa mengerti dan memahami semua persoalan yang dihadapinya. Ulama yang diam tanpa bicara sepatah kata meski kaum pandir berbicara di depan lautan massa dan mengklaim sebagai ulama seperti dirinya dan para ulama lain pendahulunya.
Ulamamu bukanlah ulamaku. Ulamamu mengendarai mobil Pajero Sport atau Alphard keluaran terbaru lengkap dengan para pengawalnya, tetapi ulamaku masih tetap hidup sederhana, berjalan kaki memakai tongkat tanpa pengawalan, atau hanya bersepeda meski para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang menguasai negara hingga para tukang tambal ban di tepi jalan raya. Ulama yang tertunduk sambil membaca doa untuk para pencemoohnya. Ulama yang meredam amarah kaum beriman yang dibutakan oleh kesalah pahaman syakwasangkanya. Ulama yang tetap setia hormat pada sang saka merah putih, yang menerima dengan ikhlas, lapang dada pada Pancasila dan Konstitusi Negara meski seluruh ayat al-Quran dan ribuan Hadits dihafalnya.
Ulama yang menghormati Umara (Pejabat Pemerintahan) meski mungkin ia dahulu tak memilihnya. Ulama yang tidak memanggilmu dengan Antum, Akhie, atau menyebut dirinya sendiri dengan Ana, tetapi memanggilmu dengan Sampeyan, Panjenengan, Anjeun, Kau dan menyebut dirinya sendiri dengan Saya, Aku, Kulo, Abdi dll.nya meski Bahasa Arab telah dikuasainya. Ulama yang bangga dengan Tanah Airnya dan mencintai bangsanya beserta budaya, adat, suku, bahasa dan keaneka ragaman lainnya hingga ia tak pernah sudi mengemis ke Saudi Arabiah, untuk menerima bantuan dengan alasan menyelamatkan aqidah dengan cara menyesatkan, bahkan tega membakar rumah dan sarana ibadah saudara seagamanya sendiri yang telah dianggapnya Syiah. Ulama yang tetap rendah hati tak mau mencalonkan diri sebagai Presiden saat menjelang Pilpres, atau mencalonkan diri sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota saat menjelang Pilkada meski para pengikutnya berjuta-juta. Itulah ulamaku yang ku kagumi dan ku puji dalam keheningan hari-hariku.
Wallahu a'lamu bissawab..
0 comments:
Post a Comment