This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Laman

Tuesday, June 19, 2018

35 TATA KRAMA KEPADA ORANGTUA

Berikut ini Tata Krama Dalam Bermuamalah Dengan Orangtua (al walidain):

1. Matikan HP ketika ada di hadapan mereka.

2. Simak pembicaraan mereka.

3. Terima pendapat mereka.

4. Aktif merespon positif terhadap pembicaraan mereka.

5. Memandang mereka dengan rendah diri.

6. Memuji mereka.

7. Memberi kabar gembira.

8. Tidak memberi info yang kurang enak.

9. Memuji orang-orang kecintaan mereka.

10. Dari waktu ke waktu menyebut prestasi mereka.

11. Selalu beri respon positif untuk pembicaraan mereka walaupun pembicaraan yang sudah berulang kali.

12. Tidak mengingatkan mereka tentang masa lalu yang menyedihkan.

13. Hindari pembicaraan sampingan.

14. Duduk dengan hormat di hadapan mereka.

15. Jangan merendahkan pemikiran mereka.

16. Jangan memotong pembicaraan mereka.

17. Jangan biarkan cucu-cucu memusingkan mereka.

18. Jangan menghukum cucu di hadapan mereka.

19. Terimalah nasihat dan arahan mereka.

20. Jika mereka hadir, maka kepemimpinan ada di tangan mereka.

21. Jangan mengangkat suara di hadapan mereka.

22. Jangan mendahului mereka dalam berjalan.

23. Jika makan bersama, jangan dahului mereka.

24. Jangan menajamkan pandangan.

25. Banggakan mereka, sekalipun mereka tak punya sesuatu yang bisa dibanggakan.

26. Jangan melonjorkan kaki di hadapan mereka atau membelakangi mereka.

27. Jagan menjadi sebab orang mencaci mereka.

28. Do’akan mereka selalu.

29.  Jangan tunjukan kelelahan atau kemarahan kepada mereka.

30. Layani mereka sebelum diminta.

31. Jangan tertawakan kesalahan mereka.

32. Seringlah temui mereka dan jangan pernah marah kepada mereka.

33. Pilihlah kata-kata terbaik dalam berdiskusi dengan mereka.

34. Memanggil mereka dengan sebutan yang mereka sukai.

35. Mengedepankan mereka atas segalanya dan atas orang lain.

INGAT...!! MEREKA ADALAH HARTA MELIMPAH DI ATAS BUMI.. DAN TAK LAMA LAGI AKAN TERPENDAM DI DALAM BUMI.

Semoga kita senantiasa bisa berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua kita, Amin.....

ESENSI HALAL BI HALAL


Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah saw bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barang siapa telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik menyangkut harga diri/kehormatan atau harta, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan (dihalalkan) sebelum datang hari di mana tidak berguna lagi dinar dan dirham. Apabila (orang yang berbuat zalim itu) mempunyai amal kebaikan/kesalihan, maka kesalihannya akan diambil untuk saudaranya sebesar kezalimannya kepadanya. Dan apabila ia tidak mempunyai amal kebaikan, maka dosa amal buruk saudaranya itu akan ditimpakan kepadanya.” [HR Bukhari].

Halal bi Halal tak terpisahkan dengan hari raya idul fitri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturrahmi.

Menurut Prof Dr Quraish Shihab, istilah Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Dengan demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.

Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”. Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal. [Buku : Membumikan Al-Qur'an]

Masihkah diperlukan Halal bi Halal setelah kita melakukan puasa, yang mana Nabi bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu [HR. Bukhari].

Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita harus mengetahui bahwa pertama, dosa yang diampuni dalam hadits tersebut adalah dosa kecil. Rasul SAW bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَ يَقُولُ : الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara sholat lima waktu, jum’at ke jumat, Ramadhan ke Ramadhan akan menghapuskan dosa-dosa antaranya jika dosa-dosa besar dijauhi”. [HR. Muslim].

Dosa besar itu seperti “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, persaksian palsu. [HR. Bukhari]. Dosa besar seperti ini tidak bisa dilebur kecuali dengan taubatan nashuha.

Kedua, Jika dosanya bersifat haqqul adami atau kesalahan pada manusia maka haruslah ia membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi sebagaimana terdapat pada hadits utama di atas. Jika menyangkut harta benda maka ia harus mengembalikannya dan bila menyangkut non-materi seperti ghibah maka hendaknya ia meminta maaf. Namun haruskah kita menjelaskan secara detail ghibah tersebut? Ulama berbeda pendapat. Yang pertama mengatakan harus menjelaskannya, pendapat ini adalah Adhar (lebih jelas argumentasinya) dan pendapat yang kedua mengatakan :

لا يشترط ، لأن هذا مما يتسامح فيه ، فلا يشترط علمه ، بخلاف المال .

Tidak disyaratkan untuk menjelaskan secara detail ghibah tersebut karena hal ini termasuk bagian yang dimaafkan maka tidak harus memberi tahu kepadanya. Berbeda dengan dosa yang berkenaan dengan harta.

فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات .

Namun jika orangnya telah meninggal atau tidak ada dan sulit meminta maafnya maka ulama berpendapat sebaiknya ia memperbanyak istighfar untuknya, berdoa dan memperbanyak kebaikan. [kitab Al-Adzkar].

Orang yang enggan meminta maaf atas kesalahan kepada saudaranya maka amal kebaikannya akan diambil untuk saudaranya, atau jika tidak maka dosa amal buruk saudaranya itu akan ditimpakan kepadanya hingga ia akan menjadi orang yang muflis (merugi) seperti sabda Nabi SAW:

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Tetapi Nabi SAW berkata : “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka”.[HR Muslim]

Wallahu A’lam

Semoga Allah SWT membuka hati dan fikiran kita untuk ringan hati meminta maaf dan memafkan kesalahan orang lain.
Amiinnn...


Sejarah Halal Bi Halal

Penggagas istilah "halal bi halal" ini adalah KH Abdul Wahab Chasbulloh.

Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum.
Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.

Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbulloh ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.

Bung Karno menjawab, "Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain".

"Itu gampang", kata Kiai Wahab.
"Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan.
Saling menyalahkan itu kan dosa.
Dosa itu haram.
Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan.
Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'", jelas Kiai Wahab.

Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul 'Halal bi Halal' dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para Ulama.

Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.

Kegiatan halal bihalal sendiri dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah. Akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari kegiatannya.
Kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah "Halal bi Halal", meskipun esensinya sudah ada.

Tapi istilah "halal bi halal" ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama (thalabul halâl bi tharîqil halâl) adalah : mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Atau dengan analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah : pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Wallohul Muwaffiq ila Aqwamith Thoriq


Sumber: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Wednesday, June 6, 2018

SYAIR INDAH Sang 5 Waktu

Bila "Shubuh" utuh,
Pagi pun tumbuh,
Hati terasa teduh,
Pribadi tidak angkuh,
Keluarga tidak keruh,
Maka damai berlabuh...

Bila "Dhuhur" teratur,
Diri jadi jujur,
Hati tidak kufur,
Jiwa selalu bersyukur,
Amal ibadah tidak udzur,
Keluarga akur,
Maka Pribadi jadi makmur...

Bila "Ashar" kelar,
Jiwa jadi sabar,
Raga jadi tegar,
Senyum pun menyebar,
Insya Allah rezeki lancar...

Bila "Maghrib" tertib,
Ngaji menjadi wajib,
Wirid jadi karib,
Jauh dari aib,
Insya Allah syafa'at tidak raib...

Bila "Isya" terjaga,
Malam bercahaya,
Hati damai sejahtera,
Insya Allah hidup pun bahagia...

Salam pejuang 5 WAKTU... 😊                           

JAUHI PHUBBING (sibuk dengan Gadget)

Phubbing adalah istilah sibuk main HP dan mengabaikan orang dihadapan kita, itulah yang terjadi, pola anti sosial. Stop phubbing kalau kita sedang berhadapan atau sedang dalam pertemuan. Ini kata baru dan sedang diadakan campaign anti phubbing.

Enam tahun silam, tepatnya pada bulan Mei 2012 para ahli bahasa, sosiolog, dan budayawan berkumpul di Sidney University. Hasil pertemuan tersebut melahirkan satu kata baru dalam tata bahasa Inggris.

Kata tersebut adalah phubbing. Yaitu sebuah tindakan seseorang yang sibuk sendiri dengan gadget di tangannya, sehingga ia tidak perhatian lagi kepada orang yang berada di dekatnya.

Karena sudah menjadi fenomena yang sangat umum, dunia sampai memerlukan sebuah kata khusus untuk penyebutannya. Kini kata *phubbing* secara resmi sudah dimasukkan dalam kamus bahasa Inggris di berbagai negara.

Sejauh penelusuran saya, bahasa Indonesia belum memiliki kata serapan dari phubbing ini. Padahal kita sendiri sering berbuat phubbing. Misalnya saat berbicara dengan petugas teller di bank, tangan kita sambil memainkan gadget.

Ketika menemani anak-anak mengerjakan tugas sekolah, setiap satu menit sekali kita melirik layar handphone kalau-kalau ada notifikasi yang masuk.

Pada momen makan berdua di restoran dengan istri, hape diletakkan sedekat mungkin di sisi kita dan mampu menyelak obrolan apapun ketika ada suara pesan dari medsos. Ya...Kita sudah menjadi phubber sejati.

Padahal Rasulullah sangat memperhatikan adab saat berbicara dengan orang lain. Dalam kitab Syamail Muhammadiyah, disebutkan Baginda Nabi saw selalu perhatian kepada lawan bicaranya. Bila ia tertawa maka Nabi ikut tertawa. Jika ia takjub terhadap apa yang sedang dibicarakan maka Nabi juga ikut takjub.

ولا يقطع على احد حديثه

"Dan Rasulullah tidak pernah memotong pembicaraan orang lain" (Hadist Riwayat Tirmidzi).

Bahkan saya pernah duduk di suatu masjid untuk shalat Jumat, dan pemuda di samping saya bermain medsos sepanjang khutbah! Ini namanya bukan lagi phubbing kepada orang lain, tetapi kepada Allah!

Karena sejatinya sejak langkah pertama kita masuk ke baitullah (masjid) maka kita sudah berhadapan kepada Allah. Sungguh mengherankan kalau ada orang niat mau shalat Jumat ke masjid kok bawa hape.

Saudaraku, mari kita benahi diri sendiri. Tidak berarti kita berhenti gunakan hape, tapi setidaknya kurangi phubbing sebisa mungkin. Hargai orang-orang di sekitar kita. Dan lebih penting lagi, kita teladani Rasulullah sebagai panutan kita.

Jangan sampai handphone yang kita beli dengan keringat hasil usaha sendiri ini, justru memisahkan kita dengan orang-orang yang kita sayangi. Bahkan memisahkan kita dengan keteladanan Rasulullah saw.

Friday, June 1, 2018

The Power of Moments

Moment adalah penanda waktu. Tandanya kita mengisi waktu yang terlewat dengan sesuatu yang layak diingat. Jika tidak ada moment, waktu berlalu dengan flat begitu saja. Tidak ada yang dikenang.

Momen itu tidak harus selalu kejadian khusus dan besar. Moment bisa juga kejadian kecil dan sederhana namun layak diingat.

Misalnya saat saya bersepeda pagi melihat penjual buah pisang jenis Barangan yang harganya cuma Rp. 10.000 rupiah. Kenapa ini begitu istimewa? Karena sehari sebelumnya saya membeli pisang sejenis di penjual lain dengan harga Rp. 25.000 dan tidak bisa ditawar. Lain kali saya akan beli di penjual ini, batin saya. Sesimpel itu.

Kemarin – seorang teman lama – mungkin terakhir bertemu 3 tahun lalu mengontak dan ingin bersilaturahim ke rumah. Kebetulan jadwal saya sedang longgar, maka seharian kami ngobrol bertukar pikiran dan pengalaman sambil minum teh hijau. Saat makan siang saya pesankan nasi briyani istimewa favorit saya yang kebetulan juga favorit teman ini.
Ia bercerita bahwa terakhir berkunjung ke rumah saya delapan tahun lalu. Ia bertanya mobil lama ke mana? Lho, saya bilang mobil lama sudah diganti dan mobil yang sekarang sudah dipakai 6 tahun lamanya. Entah mengapa teman ini bahkan ingat merek dan tipe mobil saya yang lama.

Bulan lalu saya membaca buku The Power of Moments karangan dua bersaudara Chip dan Dan Heath (Ralat, saya tidak membacanya melainkan mendengar versi audiobook-nya). Menurut buku itu mengapa waktu itu kebanyakan berlalu flat dan dilupakan sementara ada sebagian waktu selalu dikenang karena ada momen di dalamnya.

Ada 3 hal yang membuat waktu itu menjadi momen yang layak dikenang, yaitu: elevate, insight dan connection.

Elevate, maksudnya dielevasi, ditinggikan. Misalnya saat kita pernah mendapatkan penghargaan atau memenangkan sesuatu dan naik panggung menerima medali. Saat itu kita merasa bangga. Itulah moment elevate penanda yang pasti kita ingat selamanya.

Moment insight adalah moment kita mendapatkan semacam pencerahan, kesadaran atau pengetahuan baru. Contohnya ketika saya menemukan penjual pisang harga Rp. 10.000 itu. Pasti saya ingat lokasinya. Atau ketika saya membaca buku dan menemukan satu ide menarik untuk diterapkan. Bisa juga saat menonton film dan suka dengan kata-kata dari tokoh pemerannya seperti “Carpe Diem” di film Dead Poets Society.

Terakhir adalah moment yang ada connection. Contohnya ya seperti saya bertemu teman lama kemarin atau menghadiri acara silaturahmi keluarga besar, makan bersama teman-teman komunitas, reuni teman lama dan sebagainya. Moment ini pasti akan saya ingat sebagaimana teman itu ingat terakhir berkunjung 8 tahun lalu.

Bagaimana supaya setiap waktu itu tidak dilewati dengan flat? Mengikuti saran dari buku ini, setiap waktu yang dilewati harus diberi “tanda” dengan menciptakan waktu yang layak dikenang dengan membuat/menemukan elevate, insight dan connection. 


Sumber: Roni