This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Laman

Sunday, April 30, 2017

MASIH PUNYA HUTANG PUASA?

Hukum Hutang Puasa Ramadhan Beberapa Tahun Belum Di Qadha!

Apa hukum untuk orang yang memiliki hutang Ramadhan beberapa tahun, dan belum diqadha hingga sekarang..?

Jawab:
Bismillah, Allah membolehkan, bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa, baik karena sakit yang ada harapan sembuh atau safar atau sebab lainnya, untuk tidak berpuasa, dan diganti dengan qadha di luar ramadhan.

📝Allah berfirman,

ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣَﺮِﻳﻀًﺎ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ

"Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain"
(QS. Al-Baqarah : 184)

🍃Kemudian, para ulama mewajibkan, bagi orang yang memiliki hutang puasa ramadhan, sementara dia masih mampu melaksanakan puasa, agar melunasinya sebelum datang ramadhan berikutnya.

🍃Berdasarkan keterangan Ummul Mukminin A’isyah radhiyallahu ‘anha,

ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻋَﻠَﻲَّ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡُ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﻓَﻤَﺎ ﺃَﺳْﺘَﻄِﻴﻊُ ﺃَﻥْ ﺃَﻗْﻀِﻲَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ

"Dulu saya pernah memiliki utang puasa ramadhan. Namun saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan sya’ban.
(HR. Bukhari : 1950 dan Muslim : 1146)

🍃Dalam riwayat muslim terdapat tambahan,

ﺍﻟﺸُّﻐْﻞُ ﺑِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ

‘Karena beliau sibuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
A’isyah, istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu siap sedia untuk melayani suaminya, kapanpun suami datang. Sehingga A’isyah tidak ingin hajat suaminya tertunda gara-gara beliau sedang qadha puasa ramadhan. Hingga beliau akhirkan qadhanya, sampai bulan sya’ban, dan itu kesempatan terakhir untuk qadha.

🍃Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

ﻭَﻳﺆْﺧَﺬ ﻣِﻦْ ﺣِﺮْﺻﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥ : ﺃَﻧَّﻪُ ﻻ ﻳﺠُﻮﺯ ﺗَﺄْﺧِﻴﺮ ﺍﻟْﻘَﻀَﺎﺀ ﺣَﺘَّﻰ ﻳﺪْﺧُﻞَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥ ﺁﺧﺮ

Disimpulkan dari semangatnya A’isyah untuk mengqadha puasa di bulan sya’ban, menunjukkan bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya.
(Fathul Bari, 4/191).

Bagaimana jika belum diqadha hingga datang ramadhan berikutnya?

➡Sebagian ulama memberikan rincian berikut:
Pertama,
Menunda qadha karena udzur.
Misalnya: kelupaan, sakit, hamil, atau udzur lainnya.
Dalam kondisi ini, dia hanya berkewajiban qadha tanpa harus membayar kaffarah.
Karena dia menunda di luar kemampuannya.

Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang sakit selama dua tahun. Sehingga utang ramadhan sebelumnya tidak bisa diqadha hingga masuk ramadhan berikutnya.

➡Jawaban yang beliau sampaikan,

ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺇﻃﻌﺎﻡ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺗﺄﺧﻴﺮﻫﺎ ﻟﻠﻘﻀﺎﺀ ﺑﺴﺒﺐ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﺣﺘﻰ ﺟﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺁﺧﺮ ، ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﺧﺮﺕ ﺫﻟﻚ ﻋﻦ ﺗﺴﺎﻫﻞ ، ﻓﻌﻠﻴﻬﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﺇﻃﻌﺎﻡ ﻣﺴﻜﻴﻦ ﻋﻦ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ

Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnya hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya.
(Sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/572/)

Kedua,
Sengaja menunda qadha hingga masuk ramadhan berikutnya, tanpa udzur atau karena meremehkan.

Ada 3 hukum untuk kasus ini:
1. Hukum qadha tidak hilang.
Artinya tetap wajib qadha, sekalipun sudah melewati ramadhan berikutnya. Ulama sepakat akan hal ini.
2. Kewajiban bertaubat.
Karena orang yang secara sengaja menunda qadha tanpa udzur hingga masuk ramadhan berikutnya, termasuk bentuk menunda kewajiban, dan itu terlarang. Sehingga dia melakukan pelanggaran. Karena itu, dia harus bertaubat.
3. Apakah dia harus membayar kaffarah atas keterlambatan ini?
Bagian ini yang diperselisihkan ulama.

➡Pendapat Pertama :
Dia wajib membayar kaffarah, ini adalah pendapat mayoritas ulama.

As-Syaukani menjelaskan,

ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : “ ﻭﻳﻄﻌﻢ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨًﺎ :” ﺍﺳﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻣَﻦ ﻗﺎﻝ : ﺑﺄﻧﻬﺎ ﺗﻠﺰﻡ ﺍﻟﻔﺪﻳﺔ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺼﻢ ﻣﺎ ﻓﺎﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺣﺘﻰ ﺣﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺁﺧﺮ، ﻭﻫﻢ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ، ﻭﺭُﻭﻱ ﻋﻦ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ؛ ﻣﻨﻬﻢ : ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ، ﻭﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ . ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻄﺤﺎﻭﻱ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﻛﺜﻢ ﻗﺎﻝ : ﻭﺟﺪﺗﻪ ﻋﻦ ﺳﺘﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻟﻬﻢ ﻣﺨﺎﻟﻔًﺎ

📝Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin”, hadits ini dan hadits semisalnya, dijadikan dalil ulama yang berpendapat bahwa wajib membayar fidyah bagi orang yang belum mengqadha ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat yang diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah.

🍃At-Thahawi menyebutkan riwayat dari Yahya bin Akhtsam, yang mengatakan,

ﻭﺟﺪﺗﻪ ﻋﻦ ﺳﺘﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻟﻬﻢ ﻣﺨﺎﻟﻔًﺎ

Aku jumpai pendapat ini dari 6 sahabat, dan aku tidak mengetahui adanya sahabat lain yang mengingkarinya.
(Nailul Authar, 4/278)

Pendapat Kedua:
Dia hanya wajib qadha dan tidak wajib kaffarah. Ini pendapat an-Nakhai, Abu Hanifah, dan para ulama hanafiyah.

📝Dalilnya adalah firman Allah,

ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣَﺮِﻳﻀًﺎ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ

"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" 
(QS. Al-Baqarah : 184)

🍃Dalam ayat ini, Allah tidak menyebutkan fidyah sama sekali, dan hanya menyebutkan qadha.
Imam al-Albani pernah ditanya tentang kewajiban kaffarah bagi orang yang menunda qadha hingga datang ramadhan berikutnya.

➡Jawaban beliau,

ﻫﻨﺎﻙ ﻗﻮﻝ، ﻭﻟﻜﻦ ﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﺮﻓﻮﻉ

Ada yang berpendapat demikian, namun tidak ada hadits marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) di sana. 
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 3/327).

Demikian Semoga Manfaat...
WAllahu a’lam.

Saturday, April 29, 2017

Guru itu.....

Guru itu...
Pekerjaan yang berbahaya.
Bagaimana tidak?? Guru mengajar calon penerus generasi pemimpin bangsa, kalau sampai salah dalam mendidik dan memberikan konsep pastilah kesalahan tersebut akan terus terjadi dari waktu ke waktu sampai siswanya belajar kebenaran.

Guru itu...
Ndak ada yang kaya raya.
Bagaimana bisa?? Sekolah tinggi, waktunya lama, biayanya juga tak murah tapi saat sudah bekerja gajinya selalu saja cukup untuk kehidupan sehari-hari, belum lagi kalau punya anak sudah sekolah, uang sakunya setiap hari (tapi untungnya tertolong sertifikasi).

Guru itu...
Sosok yang sabar dan terlihat bahagia.
Bagaimana mungkin?? Lihat saja gurumu sendiri, sudah berapa tahun beliau mengabdi?? Bekerja bertahun-tahun baru bisa menjadi pegawai negri.
Dari awal bertemu dengan siswanya sampai mampu meluluskannya, sepertinya ndak ada yang berubah dari wajahnya.

Guru itu...
Orang yang gembira saat anak didiknya mampu sukses melebihinya.
Jangan tanya!! Mana ada guru yang bilang "jangan belajar terus, nanti kamu lebih pintar dari gurumu" atau "jangan mimpi terlalu tinggi, percuma ndak bakalan bisa kalian gapai"

Guru, Ustadz, Kyai, Dosen, dsb adalah guru yang memberikan semua ilmu kepada anak didiknya.
Orang tua, saudara, keluarga, dsb adalah guru yang secara tidak langsung memberikan ilmunya kepada orang lain.

Selamat Berakhir Pekan Guru-Guru,
Tetaplah mengabdi menjadi contoh bagi para penerus negeri ini. 

Thursday, April 20, 2017

RA. Kartini, Tafsir Al Qur'an dan KH. Saleh Darat

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;

"Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?"

"Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca".

"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya".

"Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya".

"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya".

Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, menceritakan pertemuan RA. Kartini dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat dan menuliskan kisah tsb sbb:

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kyai Sholeh meninggal dunia.

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban".

"Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan".

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disun dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.

RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.

RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim.

Kitab itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur).

Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya.

Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Soleh Darat.

Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran).

"Selamat Hari Kartini"
21 April 2017
⁠⁠⁠

Saturday, April 1, 2017

Haul ke-38 Almaghfurlah KH. M. Bisri Syansuri

Intisari Tausiyah Rais Am PBNU KH. Ma'ruf Amin dalam Haul ke-38 Almaghfurlah KH. M. Bisri Syansuri dan keluarga besar Ponpes Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang. Pada hari Selasa (28/3.1017) malam
Di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang

1. Almaghfurlah Kiai Bisri Syansuri ini Rais Am (PBNU) betulan, yang memang shahibul maqam. Sebab beliau memenuhi kriteria faqih, munadzimun, muharrik, wal wara'. Kalau saya ini Rais Am _Dlaruri_ artinya terpaksa karena saya tidak merasa sebagai shahibul maqam bahkan aqrab (mendekati) pun tidak. Jadi saya ini Rais Am Dlaruri yang min haisu la yahtasib.

2. Saya sangat terkesan dengan al-alim al-allamah Kiai Bisri Syansuri. Pada Muktamar NU di Bandung beliau terpilih sebagai Rais Am dan Kiai Wahab Hasbullah sebagai Wakil Rais Am. Tapi Kiai Bisri tidak mau selama masih ada Kiai Wahab. Tawadlu'nya beliau itu memang luar biasa. Beliau jadi Rais Am setelah Kiai Wahab telah tiada. Inilah teladan yang harus kita wariskan untuk generasi setelahnya.

3. Beliau (Kiai Bisri) juga ulama yang istiqamah untuk i'daadul mutafaqqihina fid din wa rijaalal islah (mempersiapkan generasi-generasi ahli agama dan tokoh-tokoh gerakan perbaikan) melalui Pondok Pesantren Denanyar.

4. Selain itu, beliau juga konsisten melaksanakan tugas keumatan & kebangsaan melalui Nahdlatul Ulama. Sebab ulama memang punya tugas keumatan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW menjelang wafat, beliau tdk memperhatikan sesuatu yang terkait dengan keluarganya. Beliau tidak meneriakkan auladi atau azwaji (anakku/istriku), tetapi beliau mengatakan ummati (umatku). Maka keumatan ini menjadi tanggung jawab ulama secara jama'i atau mas'uliyah wathaniyah selain melakukan i'dadu mutafaqqihina fid din sebagai tanggung jawab fardiyah atau mas'uliyah wathaniyah. 

5. Sekarang ini tantangan mas'uliyah wathaniyah makin besar. Sekarang ini banyak orang yang sesat dan menyesatkan, maka kita harus menjaga umat dari akidah-akidah yang sesat. Kita harus melakukan himayatul umah dari pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Pertama, pemikiran yang tekstualis atau aljumud alal ma'qulat sebagaimana kata Imam Qarafi. Mereka berpendapat kalau tidak ada teksnya dikatakan bi'dah,  dlalalah, fin nar. Padahal menurut Imam Qarafi, justru tekstualis itulah kesesatan yang sesungguhnya. Imam Haramain juga pernah menyatakan bahwa syariat itu ada kakanya manshusah atau tersurat dalam nash dan ada kalanya ijtihadiyah. Sedangkan sebagian besar syariat itu adalah masalah ijtihadiyah karena nash itu terbatas sementara peristiwa-peristiwa aktual tidak pernah terbatas. Apakah itu masalah sosial, ekonomi, hukum, kesehatan dan sebagainya.
Kedua, pemikiran liberal yang memberikan penafsiran berlebihan sampai-sampai berpendapat bahwa nash bisa kalah dengan maslahat. Misalnya, poligami itu bisa diharamkan karena tidak maslahat, padahal nash Al-Qur'an jelas-jelas membolehkan.

6. Nah bagaimana dengan NU? Pemikiran NU itu laa tekstualian wa laa liberaliyan wa lakin tawasshutiyan, tathowuriyan wa manhajiyan. Pemikiran NU itu tdk tekstualis juga tidak liberal. Tapi pemikiran yang moderat, dinamis dan bermanhaj.
Pemikiran ini juga terlaksana dalam gerakan NU yang mempunyai ciri atau khashaish yaitu:
1. Layyinan atau santun sebagaimana sabda Rasululullah SAW:
 فبما رحمة الله فلنت لهم
2. Tathowu'iyan atau mengajak orang dengan suka rela. Tidak pernah NU mengajak orang dengan memaksa, mengintimidasi apalagi meneror
3. Tasamuh atau toleran. Sebab secara teologis Islam itu toleran tidak egois. Secara tekstual sudah jelas: لكم دينكم ولي دين, kemudian dikembangkan oleh para ulama menjadi lakum madzhabukum wa lana madzhabuna dan kalau dikembangkan lagi menjadi lakum partai-kum wa lana partai-una
4. Tawaddudiyan wa tarohumiyan atau saling mencintai & mengasihi,  tidak saling membenci dan memusuhi. Makanya kita mengenal tiga konsep ukhuwah, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah & ukuwah insaniyah. Mestinya ada satu lagi ukhuwah yang harus dilaksanakan, yaitu ukhuwah nahdliyah.

Terakhir, Kiai Bisri ini adalah orang yang baik, alim dan shaleh. Beliau tidak hanya dicintai dan ditaati saat beliau masih hidup. Tapi sampai bertahun-tahun setelah wafat pun beliau masih dicintai, ditaati dan diteladani.

Jadi salah satu pesan yang bisa kita pelajari dari keteladanan beliau adalah: Ketika lahir, engkau menangis sementara orang-orang di sekitarmu tertawa, maka berjuanglah ketika engkau wafat nanti orang-orang di sekitarmu menangis tapi dirimu sendiri tertawa bahagia.