Laman

Thursday, November 10, 2016

KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Pahlawan Nasional Indonesia


Alhamdulillah. KH. R. As'ad Syamsul Arifin telah dianugrahi gelar Pahlawan Nasional.

Beliau lahir pada 1897 M./1315 H. di Makkah. Ketika berusia 6 tahun, ia diboyong ayahnya K.H.R. Syamsul Arifin, kembali ke tanah air bersama ibunya, Hanijah Maimunah. Setelah menetap beberapa tahun di Kembang Kuning, ibunya meninggal dan dimakamkan di belakang Mihrab Masjid Talang Pamekasan.

As’ad menjadi santri perantau dari pondok satu ke pondok lainnya. Di antara pondok-pondok tua yang pernah disinggahi As’ad adalah Pondok Banyuanyar, baik ketika diasuh oleh Kiai Haji Abdul Majid maupun Kiai haji Abdul Hamid; Pondok Sidogiri, Pasuruan, di bawah bimbingan Kiai Haji Nawawi; Pondok Buduran, Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan Kiai Haji Khozin; Pondok bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Haji Kholil; dan Pondok Tebuireng Jombang, asuhan Kiai Haji Hasyim Asy’ary.

Di Pondok Tebuireng As’ad memperoleh kesan mendalam sebagai seorang santri. Menurutnya, Tebuireng merupakan pondok yang paling berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap menyinggung pesantren Tebuireng, ia tak putus-putusnya menyebut Khadratusy Syekh Hasyim As’ary sebagai guru terakhir yang paling banyak membentuk wataknya.

Pada tahun 1983, As’ad mulai aktif membantu ayahnya mengajar di pondok. Materi pelajaran yang diajarkan kepada para santri Sukorejo adalah ilmu Tauhid Elementer yang dikenal dengan ‘aqidatul awām. Tahun berikutnya, As’ad menambah materi pelajaran yang dari kitab Izzi al Kailani dan al-Jurumiyah lengkap dengan tasrif-nya. Materi pelajaran ini dibaca setelah shalat isya’. Sedangkan kitab tasawuf Bidāyatul Hidāyah dan Kifāyatul Akhyār dibaca setiap habis shalat subuh.

Ma’had Aly merupakan lembaga pendidikan formal terakhir yang sempat didirikan almarhum K.H.R. As’ad Syamsul Arifin. Lembaga ini dirancangnya untuk menjadi wadah kaderisasi ahli fiqh (at-tafaqquh fi ad-din) karena terilhami Al-Quran surat At-Taubah (9) ayat 122.

Selain mendidik santri secara langsung dalam majlis ilmu, K.H. As’ad juga membekali mereka melalui buku-buku yang ditulisnya. Di antaranya Kitab Risalah Tauhid yang menyajikan pesan penulis kepada semua santri untuk memperdalam Islam, iman, dan ihsan terutama dalam ilmu Aqa’id. Baginya, Ilmu Ushuluddin perlu ditanamkan dengan kokoh dan kuat ke dalam dada pemuda-pemuda Islam, agar tidak tertipu dengan penampilan golongan musuh Islam yang seperti “musang berbulu ayam”. Umat Islam kelak akan dihancurkan akhlaknya dengan diperbanyak kemungkaran dan sejenisnya. Penyalahgunaan ajaran syariat Nabi Muhammad SAW dan penyempitan aksesnya, kemudian persatuan umat Islam dihancurkan, ketaqwaan dilemahkan, akibat umat kurang berhati-hati dan waspada. Karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang benar, para santri terlebih dahulu harus belajar secara tuntas tentang ilmu Tauhid, Fikih, serta Tasawuf.

Menurut K.H. As’ad, segala ilmu yang tidak dijiwai ketauhidan, alih-alih diharapkan hasilnya akan memuaskan, malah bisa mencelakakan orang tersebut. Namun kalau tauhidnya sudah melekat, ilmunya akan bermanfaat dan barokah. Dalam rangka menanamkan ketauhidan, K.H. As’ad memerintahkan kepada para santrinya, sebelum shalat isya untuk membaca ”sifat 20”. Baginya, hal tersebut bukan sekedar nyanyian. Ditambah Rukun Islam dan Iman, yang semua itu dasar tauhid, dapat mengingatkan para santri akan ketauhidan.



RAHASIA DI BALIK MUFARAQAH KIAI AS'AD dari GUS DUR

Dari berita yang dimuat di koran, pemikiran dan tindak-tanduk liberal yang dialamatkan pada Gus Dur antara lain terkait keikutsertaannya sebagai juri Festival Film Indonesia. KHR As’ad bahkan menyebut Gus Dur kiai ketoprak lantaran aksinya ini. Lalu terkait wacana Gus Dur mengubah salam “assalamu’alaikum” menjadi “selamat pagi”, dan beberapa kontroversi lain yang mengiringi perjalanan kepemimpinan Gus Dur.

Puncak ketidakcocokan Ketua Ahlul Halli wal Aqdi pada Muktamar NU ke-27 ini terjadi pada hari terakhir Muktamar Krapyak, Rabu siang, 29 Nopember 1989. Di hadapan media di arena Muktamar yang telah aklamasi memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo ini, lantang menyatakan diri mufaraqah (memisahkan diri).

Ketidakcocokan KHR As’ad dengan Gus Dur sebenarnya sudah lama. Keputusan mufaraqah bisa dibilang lebih merupakan kulminasi dari perselisihan panjang antarkeduanya. Perselisihan awal setidaknya sudah dimulai ketika pleno pertama PBNU hasil Muktamar Situbondo, di Pesantren Tebuireng, Jombang pada Januari 1985. Keputusan pleno menyatakan bahwa yang berhak mewakili NU keluar adalah Rais ‘Aam KH Ahmad Shiddiq, dan Ketua Umum Tanfidziyah KH Abdurrahman Wahid. Keputusan ini dinilai membatasi gerak dan langkah ulama sepuh lain, terutama KHR As’ad yang sebelumnya dikenal dekat dengan Presiden Soeharto dan menteri-menterinya.

Beberapa kontroversi Gus Dur lainnya sepanjang 1984-1989 semisal; keterlibatan Gus Dur menjadi ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), kesediaan membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan kecenderungan membela Syi’ah, juga turut menjadi pemicu kerenggangan komunikasi antara KHR As’ad beserta kiai-kiai sepuh lain dengan Gus Dur. Hal ini berujung peristiwa ‘gugatan’ pada Gus Dur di Pesantren Darut-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, pada Maret 1989.

Sebuah fakta politik menarik, menyusul mufaraqah KHR As’ad, Gus Dur justru makin gencar melawan Orde Baru. Gus Dur makin aktif mendukung para aktivis melawan pemerintah. Menjelang pemilu 1992, di tengah kuatnya kekuasaan Soeharto, Gus Dur bahkan berani terang-terangan menolak penguasa negeri 32 tahun itu untuk dipilih kembali. Gus Dur terus menyerang Pak Harto hingga lengser ke prabon pada 1998.

Banyak literatur menyebut, KHR As’ad Syamsul Arifin adalah sosok wali quthub. Kesaksian KH Mujib Ridwan misalnya, menyebut jika KHR As’ad pernah menangis tersedu-sedu lantaran ‘kedoknya’ terbuka, usai dibacakan sebuah surat Al-Qur’an. KH Mujib Ridwan adalah putra KH Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU, yang lebih 20 tahun mengabdi pada KH As’ad Syamsul Arifin. Di luar kharisma keulamaannya, KHR As’ad adalah seorang guru dan pengamal 17 jenis tarekat. Meskipun demikian beliau tidak pernah memaklumkan diri sebagai seorang mursyid tarekat di depan umum. KHR As’ad juga mendalami ilmu kanuragan yang membuat banyak bajingan bertekuk lutut kepadanya.

Konon, kewalian KHR As’ad inilah yang melatarbelakangi beberapa tindakannya sehingga tidak mudah dimengerti khalayak awam. Satu di antaranya menyangkut kerenggangan KHR As’ad dan Gus Dur. Kala itu tentu saja tak sedikit Nahdliyin di akar rumput yang kebingungan. Meski tak sampai menciptakan kubu-kubu yang saling berseberangan, konflik panjang dua tokoh beda generasi ini memunculkan pertanyaan di banyak pihak. Tak terkecuali rombongan Kepala Sekolah SLTP dan SLTA Ma’arif Kotamadya Surabaya. Suatu hari, pada 15 April 1987, mereka serombongan sowan ke ndalem KHR As’ad di kompleks Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Sesampai di ndalem, rombongan diterima langsung oleh KHR As’ad yang kala itu didampingi KH Mudjib Ridwan. Rombongan pun mendapat penjelasan langsung bahwa beliau mufaraqah dengan Gus Dur karena Gus Dur kiai ketoprak. Dengan menjadi juri FFI di Bali, Gus Dur dinilai sudah tidak sesuai dengan kakeknya KH Hasyim Asy’ari, dan penjelasan lain-lain seterusnya sebagaimana yang sudah beredar di media massa.

Dari Situbondo, rombongan meneruskan silaturahim berikutnya ke Jember ke ndalem KH Ahmad Shiddiq. Di hadapan Rais ‘Aam PBNU ini, disampaikanlah panjang lebar kebingungan-kebingungan mereka mengenai hubungan KHR As’ad dengan Gus Dur.

Dan beginilah dawuh KH Ahmad Shiddiq. “Kulo, dan sampean-sampean semua—seraya menunjuk satu persatu rombongan yang hadir—bukan levelnya. Bukan kelasnya menilai Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin.” Demikianlah yang pada intinya, Nahdliyin yang belum masuk levelnya, tidak pantas menilai sikap mufaraqah KHR As’ad dengan Gus Dur. Keduanya memiliki maqom (tingkatan spiritual) yang tinggi di atas kebanyakan.

Menyikapi friksi di tingkatan elit NU yang kian membingungkan ini, suatu ketika beberapa anggota Dewan Khas IPSNU Pagar Nusa dipimpin H. Suharbillah memutuskan sowan ke KH Khotib Umar, Pengasuh Pesantren Raudhatul Ulum Sumberwiringin, Sukowono, Jember. IPSNU Pagar Nusa kebetulan saat itu baru saja dideklarasikan. KH Khotib Umar adalah salah seorang ulama pejuang yang wara’ yang sangat disegani di kalangan Nahdliyin.

Kepada para pendekar Pencak Silat NU ini, KH Khotib Umar bertutur bahwa suatu waktu beliau menghadap pada KHR As’ad Syamsul Arifin bermaksud meminta penjelasan mengenai masalah dengan Gus Dur. Dan KHR As’ad dawuh bahwa memusuhi Gus Dur merupakan strategi menghadapi rezim Orde Baru. Supaya Gus Dur tidak dihabisi maka beliau memusuhi Gus Dur. Untuk menyelamatkan beliau. “Saya dengan Gus Dur hanya berbeda dalam siyasi, politik! Mufaraqah bukan berarti benci Gus Dur. Malah saya sangat mengasihi Gus Dur. Saya khawatir kalau Gus Dur di penjara oleh penguasa—karena sikap kritisnya­—lalu siapa yang akan membela? Demikian dawuh sang wali quthub.

(suarapesantren)

0 comments: