Laman

Tuesday, November 5, 2019

PENGEMBANGAN TES BENTUK URAIAN DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN




PENDAHULUAN
Penggunaan berbagai jenis tes di madrasah banyak mengundang reaksi dari berbagai kalangan, baik dari guru, peserta didik maupun dari orang tua. Para guru banyak berpendapat bahwa bentuk uraian memang banyak digunakan karena membuat soalnya relatif lebih mudah, tetapi sulit melakukan penyekoran, lebih bersifat subjektif, dan tidak adil. Oleh sebab itu, guru banyak menggunakan bentuk objektif bentuk melengkapi dan jawaban singkat. Dikalangan peserta didik juga sering terjadi pandangan yang berbeda. Ada peserta didik yang menganggap bentuk uraian lebih sulit dibandingkan dengan bentuk objektif tetapi ketika mereka dihadapkan pada soal uraian cara belajar mereka sama saja. Orang tua juga berpendapat sebaiknya bentuk soal yang digunakan di madrasah adalah bentuk objektif karena bentuk uraian lebih sulit. Benarkah bentuk uraian lebih sulit ? Dalam uraian materi berikut ini akan dikemukakan konsep bentuk uraian berikut dengan cara pemberian skor yang adil dan objektif.

JENIS TES
Tes merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuran, yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik untuk mengukur aspek perilaku peserta didik. Dalam rumusan ini terdapat beberapa unsur penting, yaitu :
Pertama, tes merupakan suatu cara atau teknik yang disusun secara sistematis dan digunakan dalam rangka kegiatan pengukuran. Kedua, di dalam tes terdapat berbagai pertanyaan dan pernyataan atau serangkaian tugas yang harus dijawab dan dikerjakan oleh peserta didik. Ketiga, tes digunakan untuk mengukur suatu aspek perilaku peserta didik. Keempat, hasil tes peserta didik perlu diberi skor dan nilai.
Tes dapat dibedakan atas beberapa jenis, dan pembagian jenis-jenis ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Heaton (1988), misalnya, membagi tes menjadi empat bagian, yaitu tes prestasi belajar (achievement test), tes penguasaan (proficiency test), tes bakat (aptitude test), dan tes diagnostik (diagnostic test).

Untuk melengkapi pembagian jenis tes tersebut, Brown (2004) menambahkan satu jenis tes lagi yang disebut tes penempatan (placement test). Dalam bidang psikologi, tes dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu :
1. Tes intelegensia umum, yaitu tes untuk mengukur kemampuan umum seseorang.
2. Tes kemampuan khusus, yaitu tes untuk mengukur kemampuan potensial dalam bidang tertentu.
3. Tes prestasi belajar, yaitu tes untuk mengukur kemampuan aktual sebagai hasil belajar.
4. Tes kepribadian, yaitu tes untuk mengukur karakteristik pribadi seseorang.

Berdasarkan jumlah peserta didik, tes hasil belajar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes kelompok dan tes perorangan. Tes kelompok, yaitu tes yang diadakan secara kelompok. Disini guru akan berhadapan dengan sekelompok peserta didik. Tes perorangan yaitu tes yang dilakukan secara perorangan (individual). Disini guru akan berhadapan dengan seorang peserta didik.

Dilihat dari cara penyusunannya, tes dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu :
1. Tes Buatan Guru (teacher-made test)
Tes buatan guru adalah tes yang disusun sendiri oleh guru yang akan mempergunakan tes tersebut. Tes ini biasanya digunakan untuk ulangan harian, formatif, dan ulangan umum (sumatif). Tes buatan guru ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang sudah disampaikan. Untuk itu, Anda harus membuat soal secara logis dan rasional mengenai pokok-pokok materi apa saja yang patut dan seharusnya ditanyakan sebagai bahan pengetahuan penting untuk diketahui dan dipahami oleh peserta didiknya. Kualitas tes atau tingkat kesahihan dan keandalannya masih belum menjamin keobjektifannya, sebab hanya diberikan kepada sekelompok peserta didik, kelas, dan madrasah tertentu saja. Jadi, masih bersifat sektoral, karena belum diujicobakan kepadasekelompok besar testi, sehingga pengukurannya masih belum meyakinkan. Begitu juga tingkat kesukaran itemnya tidak didasarkan atas sifat-sifat atau karakteristik peserta didiknya. Mereka dianggap memiliki taraf berpikir dan taraf penguasaan materi yang sama. Padahal, setiap peserta didik secara psikologis mempunyai kemampuan yang berbeda. Oleh sebab itu, sebaiknya item-item tes disusun secara cermat berdasarkan tingkat kemampuan individu yang heterogen, sedangkan penjelasan-penjelasan yang bersifat umum bisa sama. Tes buatan guru bersifat temporer, artinya hanya berlaku pada saat tertentu dan situasi tertentu pula. Pada kesempatan lain belum tentu tes tersebut dapat digunakan, karena mungkin berubah, baik bentuk itemya maupun kapasitas peserta didiknya.

Ada tes buatan guru yang bersifat hafalan semata, dan ada pula yang bersifat analitis. Anda sebagai guru yang profesional tentu akan menyusun soal yang berimbang dari kedua sifat tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat mengetahui siapa yang mempunyai kemampuan yang mantap dalammengingat atau menghafal sesuatu, dan siapa pula yang mempunyai daya pikir yang kritis, analitis, luas dan asosiatif. Situasi terakhir inilah yang harus diciptakan guru.

2. Tes yang Dibakukan (standardized test)
Tes yang dibakukan atau tes baku adalah tes yang sudah memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi berdasarkan percobaan-percobaan terhadap sampel yang cukup besar dan representatif. Tes baku adalah tes yang dikaji berulang-ulang kepada sekelompok besar peserta didik, dan item-itemnya relevan serta mempunyai daya pembeda yang tinggi. Di samping itu, tes baku telah diklasifikasikan sesuai dengan tingkat usia dan kelasnya. Tes baku biasanya telah dianalisis secara statistik dan diuji secara empiris oleh para ahli (pakar), karena itu dapat dinyatakan sahih (valid) untuk digunakan secara umum. Pengolahan secara statistik dimaksudkan untuk mencari derajat kesahihan dan keandalan serta daya pembeda yang tinggi dari setiap item, sehingga soal itu betul-betul tepat diberikan dan dapat dijadikan alat pengukur kemampuan setiap orang secara umum. Sedangkan pengujian secara empiris dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan setiap item. Tes baku bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam tiga aspek, yaitu kedudukan belajar, kemajuan belajar, dan diagnostik.

Untuk mengetahui kedudukan belajar, setiap peserta didik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, setingkat madrasah, atau setingkat dari beberapa madrasah. Tes ini dilakukan pada tingkat tertentu dan waktu tertentu saja. Tes baku juga digunakan untuk mengukur kemajuan belajarpeserta didik dalam mata pelajaran tertentu. Artinya, jika guru telah selesai membahas satu atau beberapa pokok bahasan dari mata pelajaran tertentu, guru bisa memberikan ulangan harian atau ulangan umum pada setiap semester. Adakalanya tes itu diberikan beberapa kali, sehingga kemajuan atau kemunduran belajar peserta didik dapat diketahui. Tes untuk kemajuan belajar inilah yang paling sering dan umum dilakukan oleh setiap guru dalam kegiatan pembelajaran, baik untuk laporan kemajuan belajar peserta didik maupun untuk keperluan seleksi. Adapun pelaksanaannya dapat dilakukan secara tertulis, lisan dan perbuatan, bergantung kepada tujuan dan materinya.

Tes baku bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran tertentu secara luas. Tes ini berisi materi-materi yang disusun dari yang termudah sampai yang tersukar serta terdiri atas cakupan yang luas. Dewasa ini tes diagnostik telah banyak dilakukan pada semua sekolah untuk semua tingkatan. Tes diagnostic biasanya dilakukan serempak pada beberapa sekolah dalam waktu yang sama dengan materi tes yang sama. Hasil tes diagnostik akan menunjukkan kelebihan dan kekurangan tertentu dari sekolah tertentu.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan tes baku, antara lain :
a. Aspek yang hendak diukur. Dalam keterangan tes tersebut dijelaskan aspek apa saja yang hendak diukur, misalnya kemampuan membaca, perbendaharaan pengetahuan umum, sikap, minat, kepribadian.
b. Pihak penyusun. Nama orang, baik secara individual maupun kelompok ataupun organisasi yang merancang tes itu, perlu dicantumkan dalam tes tersebut. Misalnya, tes bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Modern Language Association (TEOFL) oleh College Entrance Examination Board and Educationaal Testing Service, tes masuk perguruan tinggi negeri yang sekarang kita kenal dengan istilah SNMPTN. Nama pihak penyusun tes akan memberikan jaminan mutu dan kesahihan tesnya.
c. Tujuan penggunaan tes. Tujuan penggunaan tes perlu dirumuskan dengan jelas dan tegas, sehingga tidak mengaburkan tester dalam mengambil kesimpulan tentang peserta didik. Ada tujuan tes untuk diagnostik, ada pula untuk mengetahui hasil belajar peserta didik. Semua itu harus dicantumkan dalam keterangan tentang tes tersebut. Jika tujuan penggunaan tes tidak diketahui atau diabaikan, maka fungsi tes tersebut akan hilang dan tidak akan mencapai apa yang diharapkan. Dengan demikian, tester akan memperoleh gambaran yang keliru tentang testi, akhirnya kesimpulan yang ditarik daripadanya akan salah pula.
d. Sampel. Dalam tes itu disebutkan pula sampel yang akan digunakan dan variasi heterogenitasnya untuk dikenai tes tersebut. Selain itu dinyatakan pula lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tes itu dan berapa kali tes itu dapat dicobakan kepada testi yang sama atau berlainan. Jika ketentuan tentang sampel, waktu, dan frekuensi pelaksanaan ini kurang ditaati, fungsi tes itu akan kurang meyakinkan.
e. Kesahihan dan keandalan. Agar tes tersebut sahih (valid) dan andal (reliabel), maka ketentuan-ketentuan tentang cara atau langkah-langkah yang ditempuh harus dipatuhi, baik oleh tester maupun oleh testi, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kesahihan dan keandalan suatu tes.
f. Pengadministrasian. Ketentuan-ketentuan    pokok    mengenai pengadministrasian suatu tes perlu disusun secara teratur dan baik sesuai dengan fungsi administrasi itu sendiri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada penilaian. Dalam perencanaan perlu dimuat waktu, bahan atau materi, tujuan dan cara pelaksanaannya. Sedangkan dalam pelaksanaan perlu dimuat tempat atau ruangan dimana tes itu dilaksanakan, pengawas tes, dan jumlah peserta didik yang mengikuti tes tersebut. Dalam penilaian perlu dimuat teknik atau prosedur mengolah data, sehingga data tersebut dapat memberikan makna bagi semua pihak. Oleh sebab itu, Anda harus membuat laporan untuk orang tua , pemerintah, kepala madrasah dan peserta didik itu sendiri.
g. Cara menskor. Setelah tes dilaksanakan dan data sudah terkumpul, selanjutnya perlu diolah. Dalam pengolahan harus diperhatikan pendekatan penilaian yang digunakan, standar norma, passing grade, dan peringkat (ranking). Untuk pendekatan penilaian dapat digunakan penilaian acuan patokan (criterion- referenced assessment) atau penilaian acuan norma (norm-referenced assessment). Hal ini bergantung kepada tujuan dan maksud evaluasi itu sendiri. Begitu juga dengan standar norma, ada standar 0 – 4, 0 – 10 dan 0 – 100. Standar norma yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan. Di samping itu, perlu pula ditentukan batas lulus (passing grade) dan peringkat (ranking) dari keseluruhan test agar guru dapat mengetahui kedudukan seorang peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Semua catatan dan keterangan mengenai skoring tes ini harus didokumentasikan dalam suatu berkas dan dibuat laporan pemeriksaan untuk dijadikan bahan pedoman dalam pelaksanaan tes berikutnya. Dokumen ini harus dirahasiakan bagi siapapun. Pada zaman modern sekarang ini, ketika teknologi sudah semakin canggih, pelaksanaan penskoran dan penentuan batas lulus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat oleh pesawat komputer di samping secara manual.
h. Kunci jawaban. Biasanya pada lembaran soal dilampirkan kunci jawaban sekalian untuk dijadikan dasar dalam pemeriksaan. Ada kalanya lembar kunci jawaban ini disatukan dengan petunjuk pelaksanaan, skoring, dan tata tertib tes. Pada tes tertulis berbentuk esai, kunci jawabannya hanya memuat pokok-pokok materi yang penting saja yang harus dicantumkan oleh testi sebagai syarat dalam tesnya. Sedangkan dalam tes tertulis berbentuk objektif, kunci jawabannya memuat jawaban yang pasti. Di samping itu, ditetapkan pula ketentuan-ketentuan mengenai cara menggunakan kunci jawaban agar tidak salah penggunaannya.
i. Tabel skor mentah (raw score) dan skor terjabar. Selain lampiran-lampiran peraturan mengenai pelaksanaan tes, disertakan pula tabel-tabel yang diperlukan untuk pengolahan skor mentah ke dalam skor terjabar serta petunjuk pelaksanaannya.
j. Penafsiran. Akhirnya, setelah seluruh tes itu rampung dikerjakan sampailah kepada penafsiran tentang hasil tes itu. Kecenderungan apa yang dapat kita temukan dan bagaimana keputusan serta kesimpulannya, akan diperoleh setelah diadakan penafsiran data.

Ketentuan-ketentuan di atas merupakan ketentuan pokok yang harus diperhatikan dalam melaksanakan suatu tes, sehingga hasil tes dapat memenuhi standar yang kita harapkan. Dalam penyelenggaraan suatu tes hendaknya dibentuk suatu panitia dengan beberapa staf anggotanya serta pembagian kerjanya (job description). Di samping itu, disusun pula jadwal kerja panitia, dan yang tidak kurang pentingnya adalah tersedianya dana untuk pembiayaan tes tersebut.
Ada beberapa perbedaan antara tes baku dengan tes buatan guru yaitu :

Pada umumnya, tes yang dibakukan mempunyai norma-norma yang dapat digunakan untuk menafsirkan hasil yang dicapai oleh setiap peserta didik. Norma-norma ini tidak disusun begitu saja, tetapi didasarkan atas hasil penyelidikan secara empiris, kemudian dianalisis secara logis, rasional dan sistematis, serta dilakukan dengan percobaan terhadap sejumlah peserta didik yang dianggap cukup mewakili seluruh populasi. Jika suatu tes baku akan digunakan disuatu daerah yang baru yang ketika diadakan proses standarisasi tidak turut diwakilinya, hendaknya diadakan standarisasi baru, khususnya untuk daerah yang baru tadi. Jika kita mempunyai tes yang seragam dan norma-norma disusun berdasarkan percobaan pendahuluan di Pulau Jawa saja, maka bila kita ingin menggunakannya di daerah lain, misalnya di Sumatera, hendaknya kita jangan mempercayai begitu saja norma-norma yang telah disusun tadi, tetapi perlu diadakan percobaan pendahuluan untuk menyusun norma-norma yang baru lagi. Inilah yang dimaksud dengan proses standarisasi. Biasanya tes hasil belajar yang telah dibakukan terdiri atas materi-meteri pelajaran yang bersifat umum dan diajarkan diseluruh madrasah yang sejenis disuatu negara atau daerah. Sedangkan untuk materi-materi pelajaran yang bersifat khusus harus disusun tes tersendiri yang disesuaikan dengan semua kondisi khas bagi madrasah dan peserta didiknya.

Berdasarkan aspek pengetahuan dan keterampilan, maka tes dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tes kemampuan dan tes kecepatan.
1. Tes Kemampuan (power test)
Prinsip tes kemampuan adalah tidak adanya batasan waktu di dalam pengerjaan tes. Jika waktu tes tidak dibatasi, maka hasil tes dapat mengungkapkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sebaliknya, jika waktu pelaksanaan tes dibatasi, maka ada kemungkinan kemampuan peserta didik tidak dapat diungkapkan secara utuh. Artinya, skor yang diperoleh bukan menggambarkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Namun demikian, bukan berarti peserta didik yang paling lambat harus ditunggu sampai selesai. Tes kemampuan menghendaki agar sebagian peserta didik dapat menyelesaikan tes dalam waktu yang disediakan. Implikasinya adalah guru harus menghitung waktu pelaksanaan tes yang logis, rasional, dan proporsional ketika menyusun kisi-kisi tes. (Arifin, Z. 2009). 
Menurut penulis, tes kemampuan atau biasa disebut tes kompetensi adalah tes yang mengukur kemampuan/kompetensi peserta didik, baik pengetahuan(knowledge), keterampilan(skill) maupun sikap(attitude) sesuai taksonomi Bloom. Pada umumnya tes kemampuan di sekolah/madrasah selalu ada batasan waktu.
Jika prinsip tes kemampuan menurut Arifin, Z. adalah tidak ada batasan waktu (alinea pertama) sedangkan pada alinea terakhir peserta didik dapat menyelesaikan tes dalam waktu yang disediakan, maka tidak ada konsistensi dalam pengertian tes kemampuan tersebut. Prinsip adalah sesuatu yang harus ada pada komponen suatu konsep, jika prinsip itu dilanggar maka konsep/ definisi itu menjadi batal atau tidak cocok untuk digunakan.

2. Tes Kecepatan (speed test)
Aspek yang diukur dalam tes kecepatan adalah kecepatan peserta didik dalam mengerjakan sesuatu pada waktu atau periode tertentu. Pekerjaan tersebut biasanya relatif mudah, karena aspek yang diukur benar- benar kecepatan bekerja atau kecepatan berpikir peserta didik, bukan kemampuan lainnya. Misalnya, guru ingin mengetes kecepatan berlari, kecepatan membaca, kecepatan mengendarai kendaraan, dan sebagainya dalam waktu yang telah ditentukan.
Selanjutnya, dilihat dari bentuk jawaban peserta didik, maka tes dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Tes tertulis atau sering disebut paper and pencil test adalah tes yang menuntut jawaban dari peserta didik dalam bentuk tertulis. Tes tertulis ada yang bersifat formal dan ada pula yang bersifat nonformal. Tes yang bersifat formal meliputi jumlah testi yang cukup besar yang diselenggarakan oleh suatu panitia resmi yang diangkat oleh pemerintah. Tes formal mempunyai tujuan yang lebih luas dan didasarkan atas standar tertentu yang berlaku umum. Sedangkan tes nonformal berlaku untuk tujuan tertentu dan lingkungan terbatas yang diselenggarakan langsung oleh pihak pelaksana dalam situasi setengah resmi tanpa melalui institusi resmi. Tes tertulis ada dua bentuk, yaitu bentuk uraian (essay) dan bentuk objektif (objective). Menurut sejarah, yang ada lebih dahulu adalah bentuk uraian. Mengingat bentuk uraian ini banyak kelemahannya, maka orang berusaha untuk menyusun tes dalam bentuk yang lain, yaitu tes objektif. Namun demikian, tidak berarti bentuk uraian ditinggalkan sama sekali. Bentuk uraian dapat digunakan untuk mengukur kegiatan-kegiatan belajar yang sulit diukur oleh bentuk objektif. Disebut bentuk uraian, karena menuntut peserta didik untuk menguraikan, mengorganisasikan dan menyatakan jawaban dengan kata- katanya sendiri dalam bentuk, teknik, dan gaya yang berbeda satu dengan lainnya. Bentuk uraian sering juga disebut bentuk subjektif, karena dalam pelaksanaannya sering dipengaruhi oleh faktor subjektifitas guru. Dilihat dari luas-sempitnya materi yang ditanyakan, maka tes bentuk uraian ini dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu uraian terbatas (restricted respons items) dan uraian bebas (extended respons items).
1. Uraian Terbatas
Dalam menjawab soal bentuk uraian terbatas ini, peserta didik harus mengemukakan hal-hal tertentu sebagai batas-batasnya. Walaupun kalimat jawaban peserta didik itu beraneka ragam, tetap harus ada pokok­-pokok penting yang terdapat dalam sistematika jawabannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan dan dikehendaki dalam soalnya.
Contoh :
a. Jelaskan bagaimana masuknya Islam di Indonesia dilihat dari segi ekonomi dan politik.
b. Sebutkan lima rukum Islam !

2. Uraian Bebas
Dalam bentuk ini peserta didik bebas untuk menjawab soal dengan cara dan sistematika sendiri. Peserta didik bebas mengemukakan pendapat sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, setiap peserta didik mempunyai cara dan sistematika yang berbeda-beda. Namun demikian, guru tetap harus mempunyai acuan atau patokan dalam mengoreksi jawaban peserta didik nanti.
Contoh :
a. Jelaskan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia !
b. Bagaimana peranan pendidikan Islam dalam memecahkan masalah-masalah pokok pendidikan di Indonesia ?

Sehubungan dengan kedua bentuk uraian di atas, Depdikbud sering menyebutnya dengan istilah lain, yaitu Bentuk Uraian Objektif (BUO) dan Bentuk Uraian Non Objektif (BUNO). Kedua bentuk ini sebenarnya merupakan bagian dari bentuk uraian terbatas, karena pengelompokkan tersebut hanya didasarkan pada pendekatan/cara pemberian skor. Perbedaan BUO dan BUNO terletak pada kepastian pemberian skor. Pada soal BUO, kunci jawaban dan pedoman penskorannya lebih pasti. Kunci jawaban disusun menjadi beberapa bagian dan setiap bagian diberi skor. Sedangkan pada soal BUNO, pedoman penskoran dinyatakan dalam rentangan (0 – 4 atau 0 – 10), sehingga pemberian skor dapat dipengaruhi oleh unsur subjektif. Untuk mengurangi unsur subjektifitas ini, Anda dapat melakukannya dengan cara membuat pedoman penskoran secara rinci dan jelas, sehingga pemberian skor dapat relatif sama.

1. Bentuk Uraian Objektif (BUO).
Bentuk uraian seperti ini memiliki sehimpunan jawaban dengan rumusan yang relatif lebih pasti, sehingga dapat dilakukan penskoran secara objektif. Sekalipun pemeriksa berbeda tetapi dapat menghasilkan skor yang relatif sama. Soal bentuk ini memiliki kunci jawaban yang pasti, sehingga jawaban benar bisa diberi skor 1 dan jawaban salah 0. Anthony J.Nitko (1996) menjelaskan bentuk uraian terbatas dapat digunakan untuk menilai hasil belajar yang kompleks, yaitu berupa kemampuan-kemampuan : menjelaskan hubungan sebab-akibat, melukiskan pengaplikasian prinsip-- prinsip, mengajukan argumentasi-argumentasi yang relevan, merumuskan hipotesis dengan tepat, merumuskan asumsi yang tepat, melukiskan keterbatasan data, merumuskan kesimpulan secara tepat, menjelaskan metoda dan prosedur, dan hal-hal sejenis yang menuntut kemampuan peserta didik untuk melengkapi jawabannya.

Dalam penskoran bentuk soal uraian objektif, skor hanya dimungkinkan menggunakan dua kategori, yaitu benar atau salah. Untuk setiap kata kunci yang benar diberi skor 1 (satu) dan untuk kata kunci yang dijawab salah atau tidak dijawab diberi skor 0 (nol). Dalam satu rumusan jawaban dapat mengandung lebih dari satu kata kunci, sehingga skor maksimum jawaban dapat lebih dari satu. Kata kunci tersebut dapat berupa kalimat, kata, bilangan, simbol, gambar, grafik, ide, gagasan atau pernyataan. Diharapkan dengan pembagian yang tegas seperti ini, unsur subjektifitas dapat dihindari atau dikurangi.

Adapun langkah-langkah pemberian skor soal bentuk uraian objektif adalah :
a. Tuliskan semua kata kunci atau kemungkinan jawaban benar secara jelas untuk setiap soal.
b. Setiap kata kunci yang dijawab benar diberi skor 1. Tidak ada skor setengah untuk jawaban yang kurang sempurna. Jawaban yang diberi skor 1 adalah jawaban sempurna, jawaban lainnya adalah 0.
c. Jika satu pertanyaan memiliki beberapa sub pertanyaan, rincilah kata kunci dari jawaban soal tersebut menjadi beberapa kata kunci sub jawaban dan buatkan skornya.
d. Jumlahkan skor dari semua kata kunci yang telah ditetapkan pada soal tersebut. Jumlah skor ini disebut skor maksimum.
Contoh :
Indikator : Menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah satuan ukurannya.
Soal :
Sebuah bak penampung air berbentuk balok berukuran panjang 100 cm,lebar 70 cm dan tinggi 60 cm. Berapa liter isi bak penampung mampu menyimpan air ?

2. Bentuk Uraian Non-Objektif (BUNO).
Bentuk soal seperti ini memiliki rumusan jawaban yang sama dengan rumusan jawaban uraian bebas, yaitu menuntut peserta didik untuk mengingat dan mengorganisasikan (menguraikan dan memadukan) gagasan-gagasan pribadi atau hal-hal yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis sehingga dalam penskorannya sangat memungkinkan adanya unsur subjektifitas. Bentuk uraian bebas dapat digunakan untuk menilai hasil belajar yang bersifat kompleks, seperti kemampuan menghasilkan, menyusun dan menyatakan ide-ide, memadukan berbagai hasil belajar dari berbagai bidang studi, merekayasa bentuk-bentuk orisinal (seperti mendisain sebuah eksperimen), dan menilai arti atau makna suatu ide.
Dalam penyekoran soal bentuk uraian non-objektif, skor dijabarkan dalam rentang. Besarnya rentang skor ditetapkan oleh kompleksitas jawaban, seperti 0 – 2, 0 -4, 0 – 6, 0 – 8, 0 – 10 dan lain-lain. Skor minimal harus 0, karena peserta didik yang tidak menjawab pun akan memperoleh skor minimal tersebut. Sedangkan skor maksimum ditentukan oleh penyusun soal dan keadaan jawaban yang dituntut dalam soal tersebut. Adapun langkah-langkah pemberian skor untuk soal bentuk uraian non-objektif adalah :
a. Tulislah garis-garis besar jawaban sebagai kriteria jawaban untuk dijadikan pegangan dalam pemberian skor.
b. Tetapkan rentang skor untuk setiap kriteria jawaban.
c. Pemberian skor pada setiap jawaban bergantung pada kualitas jawaban yang diberikan oleh peserta didik.
d. Jumlahkan skor-skor yang diperoleh dari setiap kriteria jawaban sebagai skor peserta didik. Jumlah skor tertinggi dari setiap kriteria jawaban disebut skor maksimum dari suatu soal.
e. Periksalah soal untuk setiap nomor dari semua peserta didik sebelum pindah ke nomor soal yang lain. Tujuannya untuk menghindari pemberian skor berbeda terhadap jawaban yang sama.
f. Jika setiap butir soal telah selesai diskor, hitunglah jumlah skor perolehan peserta didik untuk setiap soal. Kemudian hitunglah nilai tiap soal dengan rumus :
Skor perolehan peserta didik
Nilai Tiap Soal = ———————————————— x bobot soal
skor maksimum tiap butir soal


g. Jumlahkan semua nilai yang diperoleh dari semua soal. Jumlah nilai ini disebut nilai akhir dari suatu perangkat tes yang diberikan.
Contoh :
Indikator : Menjelaskan alasan yang membuat kita harus banggasebagai bangsa Indonesia.
Soal : Jelaskan alasan yang membuat kita perlu bangga sebagai bangsa Indonesia !

  
Untuk meningkatkan objektifitas hasil pemeriksaan jawaban, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan, antara lain :
1. Untuk memperoleh soal bentuk uraian yang baik harus disusun rencana yang baik pula. Anda harus mengingat kembali prinsip-prinsip penyusunan tes dan langkah-langkah pengembangan tes secara umum.
2. Dalam menulis soal bentuk uraian, Anda harus mempunyai gambaran tentang ruang lingkup materi yang ditanyakan dan lingkup jawaban yang diharapkan, kedalaman dan panjang jawaban atau rincian jawaban yang mungkin diberikan oleh peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghindari kemungkinan terjadinya kerancuan soal dan dapat mempermudah pembuatan kriteria atau pedoman penyekoran.
3. Setelah menulis soal, Anda harus segera menyusun kunci jawaban atau pokok-pokok jawaban dan pedoman penyekoran, yang berisi tentang :
a. Batasan atau kata-kata kunci untuk melakukan penyekoran terhadap soal bentuk uraian objektif.
b. Kriteria jawaban yang digunakan untuk melakukan penyekoran terhadap soal bentuk uraian non-objektif.
4. Semua identitas peserta didik harus disembunyikan agar tidak terlihat sebelum dan selama memeriksa. Jika memungkinkan, identitas peserta didik cukup diganti dengan kode tertentu.
5. Jauhkanlah hal-hal yang dapat mempengaruhi subjektifitas pemberian skor, seperti bentuk tulisan/huruf, ukuran kertas, ejaan, struktur kalimat, kerapihan, dan lain-lain.

B. Metode Pengoreksian Soal Bentuk Uraian
Untuk mengoreksi soal bentuk uraian dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu “metode per nomor (whole method), metode per lembar (separated method), dan metode bersilang (cross method)” (Zainal Arifin, 1991, 30).
1. Metode per nomor. Di sini Anda mengoreksi hasil jawaban peserta didik untuk setiap nomor. Misalnya, Anda mengoreksi nomor satu untuk seluruh peserta didik, kemudian nomor dua untuk seluruh peserta didik, dan seterusnya. Kebaikannya adalah pemberian skor yang berbeda atas dua jawaban yang kualitasnya sama hampir tidak akan terjadi, karena jawaban peserta didik yang satu selalu dibandingkan dengan jawaban peserta didik yang lain. Sedangkan kelemahannya adalah pelaksanaannya terlalu berat dan memakan waktu banyak.
2. Metode per lembar. Di sini Anda mengoreksi setiap lembar jawaban peserta didik mulai dari nomor satu sampai dengan nomor terakhir. Kebaikannya adalah relatif lebih murah dan tidak memakan waktu banyak. Sedangkan kelemahannya adalah guru sering memberi skor yang berbeda atas dua jawaban yang sama kualitasnya, atau sebaliknya.
3. Metode bersilang. Disini Anda mengoreksi jawaban peserta didik dengan jalan menukarkan hasil koreksi dari seorang korektor kepada korektor yang lain. Jika telah selesai dikoreksi oleh seorang korektor, lalu dikoreksi kembali oleh korektor yang lain. Kelebihannya adalah faktor subjektif dapat dikurangi. Sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak.

Dalam pelaksanaan pengoreksian, Anda boleh memilih salah satu diantara ketiga metode tersebut, atau mungkin Anda menggunakannya secara bervariasi. Hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, Anda menghendaki hasil jawaban yang betul-betul objektif, maka lebih tepat bila kita menggunakan metode bersilang. Sebaliknya, bila ada waktu luang, Anda dapat menggunakan metode pernomor atau metode per lembar.

Selanjutnya, Zainal Arifin (1991 : 30) mengemukakan “ di samping metode metode di atas, ada juga metode lain untuk mengoreksi jawaban soal bentuk uraian, yaitu “analytical method dan sorting method”.
1. Analytical method, yaitu suatu cara untuk mengoreksi jawaban peserta didik dan guru sudah menyiapkan sebuah model jawaban, kemudian dianalisis menjadi beberapa langkah atau unsur yang terpisah, dan setiap langkah disediakan skor-skor tertentu. Setelah satu model jawaban tersusun, maka jawaban masing-masing peserta didik dibandingkan dengan model jawaban tersebut, kemudian diberi skor sesuai dengan tingkat kebenarannya.
2. Sorting method, yaitu metode memilih yang dipergunakan untuk memberi skor terhadap jawaban-jawaban yang tidak dibagi-bagi menjadi unsur-unsur. Jawaban-jawaban peserta didik harus dibaca secara keseluruhan.

Anda juga dapat menggunakan metode lain untuk pemberian skor soal bentuk uraian, yaitu :
1. Point method, yaitu setiap jawaban dibandingkan dengan jawaban ideal yang telah ditetapkan dalam kunci jawaban dan skor yang diberikan untuk setiap jawaban akan bergantung kepada derajat kepadanannya dengan kunci jawaban. Metode ini sangat cocok digunakan untuk bentuk uraian terbatas, karena setiap jawaban sudah dibatasi dengan kriteria tertentu.
2. Rating method, yaitu setiap jawaban peserta didik ditetapkan dalam salah satu kelompok yang sudah dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya selagi jawaban tersebut dibaca. Kelompok-kelompok tersebut menggambarkan kualitas dan menentukan berapa skor yang akan diberikan kepada setiap jawaban. Misalnya, sebuah soal akan diberi skor maksimum 8, maka bagi soal tersebut dapat dibuat 9 kelompok jawaban dari 8 sampai 0. Metode ini sangat cocok digunakan untuk bentuk uraian bebas.

Setiap bentuk soal tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Begitu juga bentuk uraian. Kebaikan tes bentuk uraian antara lain (1) menyusunnya relative mudah (2) guru dapat menilai peserta didik mengenai kreatifitas, menganalisa dan mengsintesa suatu soal. Hal ini berarti memberikan kebebasan yang luas kepada peserta didik untuk menyatakan tanggapannya (3) guru dapat memperoleh data-data mengenai kepribadian peserta didik (4) peserta didik tidak dapat menerka-nerka (5) derajat ketepatan dan kebenaran peserta didik dapat dilihat dari ungkapan kalimat-kalimatnya (6) sangat cocok untuk mengukur dan menilai hasil belajar yang kompleks, yang sukar diukur dengan mempergunakan bentuk objektif.

Kelemahan tes bentuk uraian antara lain (1) sukar sekali menilai jawaban peserta didik secara tepat dan komprehensif (2) ada kecenderungan guru untuk memberikan nilai seperti biasanya (3) menghendaki respon-respon yang relatif panjang (4) untuk mengoreksi jawaban diperlukan waktu yang lama (5) guru sering terkecoh dalam memberikan nilai, karena keindahan kalimat dan tulisan, bahkan juga oleh lembar jawaban (6) hanya terbatas pada guru-guru yang menguasai materi yang dapat mengoreksi jawaban peserta didik, sehingga kurang praktis bila jumlah peserta didik cukup banyak.

Dalam menyusun soal bentuk uraian, ada baiknya Anda ikuti petunjuk praktis berikut ini.
1. Materi yang akan diujikan hendaknya materi yang kurang cocok diukur dengan menggunakan bentuk objektif, seperti :
a. Kemampuan peserta didik untuk menyusun pendapatnya mengenai suatu masalah.
b. Hasil pekerjaan anak didik setelah mengadakan kegiatan seperti peninjauan, kerja nyata, dan sebagainya.
c. Kemampuan peserta didik dalam hal berbahasa Arab.
d. Kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah.
2. Setiap pertanyaan hendaknya menggunakan petunjuk dan rumusan yang jelas dan mudah dipahami, sehingga tidak menimbulkan kebimbangan pada peserta didik. Misalnya :
a. Apa perbedaan antara ikhfa dengan izhar. Berikan masing-masing dua buah contoh hurufnya.
b. Apa yang dimaksud dengan yaumid din dalam surat al-Fatihah ?
c. Mengapa setiap muslim harus melaksanakan sholat wajib ?
3. Jangan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih beberapa soal dari sejumlah soal yang diberikan, sebab cara demikian tidak memungkinkan untuk memperoleh skor yang dapat dibandingkan.
4. Persoalan yang terkandung dalam tes bentuk uraian hendaknya difokuskan pada hal-hal seperti : menelaah persoalan, melukiskan persoalan, menjelaskan persoalan, membandingkan dua hal atau lebih, mengemukakan kritik terhadap sesuatu, menyelesaikan suatu persoalan seperti menghitung, membuat contoh mengenai suatu pengertian, memecahkan suatu persoalan dengan jalan mengaplikasikan prinsip-prinsip yang telah dikuasainya, dan menyusun suatu konsepsi.

C. Analisis Soal Bentuk Uraian
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menganalisis soal bentuk uraian.
Pertama, secara rasional yang dilakukan sebelum tes itu digunakan/diujicobakan
seperti menggunakan kartu telaah.
Kedua, secara empiris yaitu menganalisis hasil ujian atau hasil uji-coba secara kuantitatif. Untuk itu, ada dua hal yang harus Anda pelajari :

1. Daya Pembeda Soal
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara peserta didik yang pandai (menguasai materi) dengan peserta didik yang kurang pandai (kurang/tidak menguasai materi). Logikanya adalah peserta didik yang pandai tentu akan lebih mampu menjawab dibandingkan dengan peserta didik yang kurang pandai. Indeks daya pembeda biasanya dinyatakan dengan proporsi. Semakin tinggi proporsi itu, maka semakin baik soal tersebut membedakan antara peserta didik yang pandai dengan peserta didik yang kurang pandai. Untuk menguji daya pembeda (DP) ini, Anda perlu menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menghitung jumlah skor total tiap peserta didik.
b. Mengurutkan skor total mulai dari skor terbesar sampai dengan skor terkecil.
c. Menetapkan kelompok atas dan kelompok bawah. Jika jumlah peserta didik banyak (di atas 30) dapat ditetapkan 27 % .
d. Menghitung rata-rata skor untuk masing-masing kelompok (kelompok atas maupun kelompok bawah).
e. Menghitung daya pembeda soal  
f. Membandingkan daya pembeda dengan kriteria seperti berikut :
0.40 ke atas      = sangat baik
0,30 – 0,39        = baik
0,20 – 0,29        = cukup, soal perlu perbaikan
0,19 ke bawah = kurang baik, soal harus dibuang

2. Tingkat Kesukaran Soal
Tingkat kesukran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang biasa dinyatakan dengan indeks. Indeks ini biasa dinyatakan dengan proporsi yang besarnya antara 0,00 sampai dengan 1,00. Semakin besar indeks tingkat kesukaran berarti soal tersebut semakin mudah. 


RANGKUMAN
Tes merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuran, yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik untuk mengukur aspek perilaku peserta didik. Tes dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Dilihat dari jumlah peserta didik, tes dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tes kelompok dan tes perorangan. Dilihat dari kajian psikologi, tes dibagi menjadi empat jenis, yaitu tes intelegensia umum, tes kemampuan khusus, tes prestasi belajar, dan tes kepribadian. Jika dilihat dari cara penyusunannya, tes juga dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tes buatan guru dan tes standar. Berdasarkan bentuk jawaban peserta didik, tes dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tes tertulis, tes lisan dan tes tindakan. Tes tertulis dibagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk uraian dan bentuk objektif. Bentuk uraian dibagi lagi menjadi dua, yaitu bentuk uraian bebas dan bentuk uraian terbatas. Sedangkan bentuk objektif dibagi menjadi empat bentuk, yaitu benar-salah, pilihan-ganda, menjodohkan, dan melengkapi/ jawaban singkat. Tes juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu tes kemampuan (power test) dan tes kecepatan (speeds test).
Untuk mengoreksi soal bentuk uraian dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode per nomor (whole method), metode per lembar (separated method), dan metode bersilang (cross method). Di samping itu, ada juga metode lain untuk mengoreksi jawaban soal bentuk uraian, yaitu analytical method dan sorting method. Ada juga metode lain, yaitu point method dan rating method. Untuk mengetahui kualitas soal bentuk uraian dapat dilakukan dengan menghitung daya pembeda dan tingkat kesukaran soal.


 DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. (2009). Evaluasi pembelajaran (Vol. 152). Bandung: PT Remaja Rosdakarya..
Astiti, K. A. (2017). Evaluasi pembelajaran. Penerbit Andi.
Matondang, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Program Pascasarjana Unimed
Nuriyah, N. (2016). Evaluasi pembelajaran: sebuah kajian teori. Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi3(1).
Setemen, K. (2010). Pengembangan evaluasi pembelajaran online. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran43(3).




Materi disampaikan pada DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF TEKNIK EVALUASI PEMBELAJARAN MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI (MTsN) 5 JOMBANG BEKERJASAMA DENGAN BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEAGAMAAN SURABAYA pada tanggal 4 - 9 November 2019 oleh Bapak Zainul Arief, S.Pd., M.H., Widyaiswara Ahli Madya Balai Diklat Keagamaan Surabaya.


0 comments: