PENDAHULUAN
Penggunaan
berbagai jenis tes di madrasah banyak mengundang reaksi dari berbagai kalangan,
baik dari guru, peserta didik maupun dari orang tua. Para guru banyak
berpendapat bahwa bentuk uraian memang banyak digunakan karena membuat soalnya
relatif lebih mudah, tetapi sulit melakukan penyekoran, lebih bersifat
subjektif, dan tidak adil. Oleh sebab itu, guru banyak menggunakan bentuk
objektif bentuk melengkapi dan jawaban singkat. Dikalangan peserta didik juga
sering terjadi pandangan yang berbeda. Ada peserta didik yang menganggap bentuk
uraian lebih sulit dibandingkan dengan bentuk objektif tetapi ketika mereka
dihadapkan pada soal uraian cara belajar mereka sama saja. Orang tua juga
berpendapat sebaiknya bentuk soal yang digunakan di madrasah adalah bentuk
objektif karena bentuk uraian lebih sulit. Benarkah bentuk uraian lebih sulit ?
Dalam uraian materi berikut ini akan dikemukakan konsep bentuk uraian berikut
dengan cara pemberian skor yang adil dan objektif.
JENIS TES
Tes merupakan
suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan
pengukuran, yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan atau
serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik untuk
mengukur aspek perilaku peserta didik. Dalam rumusan ini terdapat beberapa
unsur penting, yaitu :
Pertama,
tes merupakan suatu cara atau teknik yang disusun secara sistematis dan
digunakan dalam rangka kegiatan pengukuran. Kedua, di dalam tes terdapat
berbagai pertanyaan dan pernyataan atau serangkaian tugas yang harus dijawab
dan dikerjakan oleh peserta didik. Ketiga, tes digunakan untuk mengukur
suatu aspek perilaku peserta didik. Keempat, hasil tes peserta didik
perlu diberi skor dan nilai.
Tes dapat dibedakan atas beberapa jenis, dan
pembagian jenis-jenis ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Heaton
(1988), misalnya, membagi tes menjadi empat bagian, yaitu tes prestasi belajar
(achievement test), tes penguasaan (proficiency test), tes bakat
(aptitude test), dan tes diagnostik (diagnostic test).
Untuk melengkapi pembagian jenis tes tersebut,
Brown (2004) menambahkan satu jenis tes lagi yang disebut tes penempatan
(placement test). Dalam bidang psikologi, tes dapat diklasifikasikan
menjadi empat bagian, yaitu :
1. Tes intelegensia umum, yaitu tes untuk
mengukur kemampuan umum seseorang.
2. Tes kemampuan khusus, yaitu tes untuk mengukur
kemampuan potensial dalam bidang tertentu.
3. Tes prestasi belajar, yaitu tes untuk mengukur
kemampuan aktual sebagai hasil belajar.
4. Tes kepribadian, yaitu tes untuk mengukur
karakteristik pribadi seseorang.
Berdasarkan
jumlah peserta didik, tes hasil belajar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu
tes kelompok dan tes perorangan. Tes kelompok, yaitu tes yang diadakan secara
kelompok. Disini guru akan berhadapan dengan sekelompok peserta didik. Tes
perorangan yaitu tes yang dilakukan secara perorangan (individual). Disini guru
akan berhadapan dengan seorang peserta didik.
Dilihat dari cara penyusunannya, tes dapat
dibedakan atas dua jenis, yaitu :
1. Tes Buatan Guru (teacher-made test)
Tes
buatan guru adalah tes yang disusun sendiri oleh guru yang akan mempergunakan
tes tersebut. Tes ini biasanya digunakan untuk ulangan harian, formatif, dan
ulangan umum (sumatif). Tes buatan guru ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat
penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang sudah disampaikan.
Untuk itu, Anda harus membuat soal secara logis dan rasional mengenai
pokok-pokok materi apa saja yang patut dan seharusnya ditanyakan sebagai bahan
pengetahuan penting untuk diketahui dan dipahami oleh peserta didiknya.
Kualitas tes atau tingkat kesahihan dan keandalannya masih belum menjamin
keobjektifannya, sebab hanya diberikan kepada sekelompok peserta didik, kelas,
dan madrasah tertentu saja. Jadi, masih bersifat sektoral, karena belum
diujicobakan kepadasekelompok besar testi, sehingga pengukurannya masih belum
meyakinkan. Begitu juga tingkat kesukaran itemnya tidak didasarkan atas
sifat-sifat atau karakteristik peserta didiknya. Mereka dianggap memiliki taraf
berpikir dan taraf penguasaan materi yang sama. Padahal, setiap peserta didik
secara psikologis mempunyai kemampuan yang berbeda. Oleh sebab itu, sebaiknya item-item
tes disusun secara cermat berdasarkan tingkat kemampuan individu yang
heterogen, sedangkan penjelasan-penjelasan yang bersifat umum bisa sama. Tes
buatan guru bersifat temporer, artinya hanya berlaku pada saat tertentu dan
situasi tertentu pula. Pada kesempatan lain belum tentu tes tersebut dapat
digunakan, karena mungkin berubah, baik bentuk itemya maupun kapasitas peserta
didiknya.
Ada
tes buatan guru yang bersifat hafalan semata, dan ada pula yang bersifat analitis.
Anda sebagai guru yang profesional tentu akan menyusun soal yang berimbang dari
kedua sifat tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat mengetahui
siapa yang mempunyai kemampuan yang mantap dalammengingat atau menghafal
sesuatu, dan siapa pula yang mempunyai daya pikir yang kritis, analitis, luas
dan asosiatif. Situasi terakhir inilah yang harus diciptakan guru.
2. Tes yang Dibakukan (standardized test)
Tes
yang dibakukan atau tes baku adalah tes yang sudah memiliki derajat validitas
dan reliabilitas yang tinggi berdasarkan percobaan-percobaan terhadap sampel
yang cukup besar dan representatif. Tes baku adalah tes yang dikaji
berulang-ulang kepada sekelompok besar peserta didik, dan item-itemnya relevan
serta mempunyai daya pembeda yang tinggi. Di samping itu, tes baku telah
diklasifikasikan sesuai dengan tingkat usia dan kelasnya. Tes baku biasanya
telah dianalisis secara statistik dan diuji secara empiris oleh para ahli
(pakar), karena itu dapat dinyatakan sahih (valid) untuk digunakan secara umum.
Pengolahan secara statistik dimaksudkan untuk mencari derajat kesahihan dan
keandalan serta daya pembeda yang tinggi dari setiap item, sehingga soal itu
betul-betul tepat diberikan dan dapat dijadikan alat pengukur kemampuan setiap
orang secara umum. Sedangkan pengujian secara empiris dimaksudkan untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan setiap item. Tes baku bertujuan untuk mengukur
kemampuan peserta didik dalam tiga aspek, yaitu kedudukan belajar, kemajuan
belajar, dan diagnostik.
Untuk
mengetahui kedudukan belajar, setiap peserta didik dibandingkan dengan
teman-teman sekelasnya, setingkat madrasah, atau setingkat dari beberapa
madrasah. Tes ini dilakukan pada tingkat tertentu dan waktu tertentu saja. Tes
baku juga digunakan untuk mengukur kemajuan belajarpeserta didik dalam mata
pelajaran tertentu. Artinya, jika guru telah selesai membahas satu atau
beberapa pokok bahasan dari mata pelajaran tertentu, guru bisa memberikan
ulangan harian atau ulangan umum pada setiap semester. Adakalanya tes itu
diberikan beberapa kali, sehingga kemajuan atau kemunduran belajar peserta
didik dapat diketahui. Tes untuk kemajuan belajar inilah yang paling sering dan
umum dilakukan oleh setiap guru dalam kegiatan pembelajaran, baik untuk laporan
kemajuan belajar peserta didik maupun untuk keperluan seleksi. Adapun
pelaksanaannya dapat dilakukan secara tertulis, lisan dan perbuatan, bergantung
kepada tujuan dan materinya.
Tes
baku bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan peserta didik dalam
menguasai materi pelajaran tertentu secara luas. Tes ini berisi materi-materi
yang disusun dari yang termudah sampai yang tersukar serta terdiri atas cakupan
yang luas. Dewasa ini tes diagnostik telah banyak dilakukan pada semua sekolah
untuk semua tingkatan. Tes diagnostic biasanya dilakukan serempak pada beberapa
sekolah dalam waktu yang sama dengan materi tes yang sama. Hasil tes diagnostik
akan menunjukkan kelebihan dan kekurangan tertentu dari sekolah tertentu.
Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam pengembangan tes baku, antara lain :
a. Aspek yang
hendak diukur. Dalam keterangan tes tersebut dijelaskan aspek apa saja yang
hendak diukur, misalnya kemampuan membaca, perbendaharaan pengetahuan umum,
sikap, minat, kepribadian.
b. Pihak
penyusun. Nama orang, baik secara individual maupun kelompok ataupun organisasi
yang merancang tes itu, perlu dicantumkan dalam tes tersebut. Misalnya, tes
bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Modern Language Association
(TEOFL) oleh College Entrance Examination Board and Educationaal Testing
Service, tes masuk perguruan tinggi negeri yang sekarang kita kenal dengan
istilah SNMPTN. Nama pihak penyusun tes akan memberikan jaminan mutu dan
kesahihan tesnya.
c. Tujuan
penggunaan tes. Tujuan penggunaan tes perlu dirumuskan dengan jelas dan tegas,
sehingga tidak mengaburkan tester dalam mengambil kesimpulan tentang peserta
didik. Ada tujuan tes untuk diagnostik, ada pula untuk mengetahui hasil belajar
peserta didik. Semua itu harus dicantumkan dalam keterangan tentang tes
tersebut. Jika tujuan penggunaan tes tidak diketahui atau diabaikan, maka
fungsi tes tersebut akan hilang dan tidak akan mencapai apa yang diharapkan.
Dengan demikian, tester akan memperoleh gambaran yang keliru tentang testi, akhirnya
kesimpulan yang ditarik daripadanya akan salah pula.
d. Sampel.
Dalam tes itu disebutkan pula sampel yang akan digunakan dan variasi
heterogenitasnya untuk dikenai tes tersebut. Selain itu dinyatakan pula lamanya
waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tes itu dan berapa kali tes itu dapat
dicobakan kepada testi yang sama atau berlainan. Jika ketentuan tentang sampel,
waktu, dan frekuensi pelaksanaan ini kurang ditaati, fungsi tes itu akan kurang
meyakinkan.
e. Kesahihan
dan keandalan. Agar tes tersebut sahih (valid) dan andal (reliabel), maka
ketentuan-ketentuan tentang cara atau langkah-langkah yang ditempuh harus
dipatuhi, baik oleh tester maupun oleh testi, sehingga pelaksanaannya dapat
berjalan dengan lancar tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap kesahihan dan keandalan suatu tes.
f.
Pengadministrasian. Ketentuan-ketentuan
pokok mengenai pengadministrasian
suatu tes perlu disusun secara teratur dan baik sesuai dengan fungsi
administrasi itu sendiri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada
penilaian. Dalam perencanaan perlu dimuat waktu, bahan atau materi, tujuan dan
cara pelaksanaannya. Sedangkan dalam pelaksanaan perlu dimuat tempat atau
ruangan dimana tes itu dilaksanakan, pengawas tes, dan jumlah peserta didik
yang mengikuti tes tersebut. Dalam penilaian perlu dimuat teknik atau prosedur
mengolah data, sehingga data tersebut dapat memberikan makna bagi semua pihak. Oleh
sebab itu, Anda harus membuat laporan untuk orang tua , pemerintah, kepala
madrasah dan peserta didik itu sendiri.
g. Cara
menskor. Setelah tes dilaksanakan dan data sudah terkumpul, selanjutnya perlu
diolah. Dalam pengolahan harus diperhatikan pendekatan penilaian yang
digunakan, standar norma, passing grade, dan peringkat (ranking).
Untuk pendekatan penilaian dapat digunakan penilaian acuan patokan
(criterion- referenced assessment) atau penilaian acuan norma
(norm-referenced assessment). Hal ini bergantung kepada tujuan dan maksud
evaluasi itu sendiri. Begitu juga dengan standar norma, ada standar 0 – 4, 0 –
10 dan 0 – 100. Standar norma yang digunakan harus disesuaikan dengan
kebutuhan. Di samping itu, perlu pula ditentukan batas lulus (passing grade)
dan peringkat (ranking) dari keseluruhan test agar guru dapat mengetahui
kedudukan seorang peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lainnya.
Semua catatan dan keterangan mengenai skoring tes ini harus didokumentasikan
dalam suatu berkas dan dibuat laporan pemeriksaan untuk dijadikan bahan pedoman
dalam pelaksanaan tes berikutnya. Dokumen ini harus dirahasiakan bagi siapapun.
Pada zaman modern sekarang ini, ketika teknologi sudah semakin canggih, pelaksanaan
penskoran dan penentuan batas lulus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat oleh
pesawat komputer di samping secara manual.
h. Kunci
jawaban. Biasanya pada lembaran soal dilampirkan kunci jawaban sekalian untuk
dijadikan dasar dalam pemeriksaan. Ada kalanya lembar kunci jawaban ini
disatukan dengan petunjuk pelaksanaan, skoring, dan tata tertib tes. Pada tes
tertulis berbentuk esai, kunci jawabannya hanya memuat pokok-pokok materi yang
penting saja yang harus dicantumkan oleh testi sebagai syarat dalam tesnya.
Sedangkan dalam tes tertulis berbentuk objektif, kunci jawabannya memuat
jawaban yang pasti. Di samping itu, ditetapkan pula ketentuan-ketentuan
mengenai cara menggunakan kunci jawaban agar tidak salah penggunaannya.
i. Tabel skor
mentah (raw score) dan skor terjabar. Selain lampiran-lampiran peraturan
mengenai pelaksanaan tes, disertakan pula tabel-tabel yang diperlukan untuk
pengolahan skor mentah ke dalam skor terjabar serta petunjuk pelaksanaannya.
j. Penafsiran.
Akhirnya, setelah seluruh tes itu rampung dikerjakan sampailah kepada
penafsiran tentang hasil tes itu. Kecenderungan apa yang dapat kita temukan dan
bagaimana keputusan serta kesimpulannya, akan diperoleh setelah diadakan
penafsiran data.
Ketentuan-ketentuan
di atas merupakan ketentuan pokok yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
suatu tes, sehingga hasil tes dapat memenuhi standar yang kita harapkan. Dalam
penyelenggaraan suatu tes hendaknya dibentuk suatu panitia dengan beberapa staf
anggotanya serta pembagian kerjanya (job description). Di samping itu,
disusun pula jadwal kerja panitia, dan yang tidak kurang pentingnya adalah
tersedianya dana untuk pembiayaan tes tersebut.
Ada beberapa
perbedaan antara tes baku dengan tes buatan guru yaitu :
Pada
umumnya, tes yang dibakukan mempunyai norma-norma yang dapat digunakan untuk
menafsirkan hasil yang dicapai oleh setiap peserta didik. Norma-norma ini tidak
disusun begitu saja, tetapi didasarkan atas hasil penyelidikan secara empiris,
kemudian dianalisis secara logis, rasional dan sistematis, serta dilakukan
dengan percobaan terhadap sejumlah peserta didik yang dianggap cukup mewakili
seluruh populasi. Jika suatu tes baku akan digunakan disuatu daerah yang baru
yang ketika diadakan proses standarisasi tidak turut diwakilinya, hendaknya
diadakan standarisasi baru, khususnya untuk daerah yang baru tadi. Jika kita
mempunyai tes yang seragam dan norma-norma disusun berdasarkan percobaan
pendahuluan di Pulau Jawa saja, maka bila kita ingin menggunakannya di daerah
lain, misalnya di Sumatera, hendaknya kita jangan mempercayai begitu saja
norma-norma yang telah disusun tadi, tetapi perlu diadakan percobaan
pendahuluan untuk menyusun norma-norma yang baru lagi. Inilah yang dimaksud
dengan proses standarisasi. Biasanya tes hasil belajar yang telah dibakukan
terdiri atas materi-meteri pelajaran yang bersifat umum dan diajarkan diseluruh
madrasah yang sejenis disuatu negara atau daerah. Sedangkan untuk materi-materi
pelajaran yang bersifat khusus harus disusun tes tersendiri yang disesuaikan
dengan semua kondisi khas bagi madrasah dan peserta didiknya.
Berdasarkan
aspek pengetahuan dan keterampilan, maka tes dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu tes kemampuan dan tes kecepatan.
1. Tes Kemampuan (power test)
Prinsip
tes kemampuan adalah tidak adanya batasan waktu di dalam pengerjaan tes. Jika
waktu tes tidak dibatasi, maka hasil tes dapat mengungkapkan kemampuan peserta
didik yang sebenarnya. Sebaliknya, jika waktu pelaksanaan tes dibatasi, maka
ada kemungkinan kemampuan peserta didik tidak dapat diungkapkan secara utuh.
Artinya, skor yang diperoleh bukan menggambarkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya.
Namun demikian, bukan berarti peserta didik yang paling lambat harus ditunggu
sampai selesai. Tes kemampuan menghendaki agar sebagian peserta didik dapat
menyelesaikan tes dalam waktu yang disediakan. Implikasinya adalah guru harus
menghitung waktu pelaksanaan tes yang logis, rasional, dan proporsional ketika
menyusun kisi-kisi tes. (Arifin, Z.
2009).
Menurut penulis, tes kemampuan atau biasa
disebut tes kompetensi adalah tes yang mengukur kemampuan/kompetensi peserta
didik, baik pengetahuan(knowledge), keterampilan(skill) maupun sikap(attitude) sesuai
taksonomi Bloom. Pada umumnya tes kemampuan di sekolah/madrasah selalu ada
batasan waktu.
Jika prinsip tes kemampuan menurut Arifin, Z.
adalah tidak ada batasan waktu (alinea pertama) sedangkan pada alinea terakhir
peserta didik dapat menyelesaikan tes dalam waktu yang disediakan, maka tidak
ada konsistensi dalam pengertian tes kemampuan tersebut. Prinsip adalah sesuatu
yang harus ada pada komponen suatu konsep, jika prinsip itu dilanggar maka konsep/
definisi itu menjadi batal atau tidak cocok untuk digunakan.
2. Tes Kecepatan (speed test)
Aspek
yang diukur dalam tes kecepatan adalah kecepatan peserta didik dalam
mengerjakan sesuatu pada waktu atau periode tertentu. Pekerjaan tersebut
biasanya relatif mudah, karena aspek yang diukur benar- benar kecepatan bekerja
atau kecepatan berpikir peserta didik, bukan kemampuan lainnya. Misalnya, guru
ingin mengetes kecepatan berlari, kecepatan membaca, kecepatan mengendarai
kendaraan, dan sebagainya dalam waktu yang telah ditentukan.
Selanjutnya,
dilihat dari bentuk jawaban peserta didik, maka tes dapat dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Tes tertulis atau
sering disebut paper and pencil test adalah tes yang menuntut jawaban
dari peserta didik dalam bentuk tertulis. Tes tertulis ada yang bersifat formal
dan ada pula yang bersifat nonformal. Tes yang bersifat formal meliputi jumlah
testi yang cukup besar yang diselenggarakan oleh suatu panitia resmi yang
diangkat oleh pemerintah. Tes formal mempunyai tujuan yang lebih luas dan
didasarkan atas standar tertentu yang berlaku umum. Sedangkan tes nonformal
berlaku untuk tujuan tertentu dan lingkungan terbatas yang diselenggarakan
langsung oleh pihak pelaksana dalam situasi setengah resmi tanpa melalui
institusi resmi. Tes tertulis ada dua bentuk, yaitu bentuk uraian (essay)
dan bentuk objektif (objective). Menurut sejarah, yang ada lebih dahulu
adalah bentuk uraian. Mengingat bentuk uraian ini banyak kelemahannya, maka
orang berusaha untuk menyusun tes dalam bentuk yang lain, yaitu tes objektif.
Namun demikian, tidak berarti bentuk uraian ditinggalkan sama sekali. Bentuk
uraian dapat digunakan untuk mengukur kegiatan-kegiatan belajar yang sulit
diukur oleh bentuk objektif. Disebut bentuk uraian, karena menuntut peserta
didik untuk menguraikan, mengorganisasikan dan menyatakan jawaban dengan kata- katanya
sendiri dalam bentuk, teknik, dan gaya yang berbeda satu dengan lainnya. Bentuk
uraian sering juga disebut bentuk subjektif, karena dalam pelaksanaannya sering
dipengaruhi oleh faktor subjektifitas guru. Dilihat dari luas-sempitnya materi
yang ditanyakan, maka tes bentuk uraian ini dapat dibagi menjadi dua bentuk,
yaitu uraian terbatas (restricted respons items) dan uraian bebas
(extended respons items).
1. Uraian Terbatas
Dalam
menjawab soal bentuk uraian terbatas ini, peserta didik harus mengemukakan
hal-hal tertentu sebagai batas-batasnya. Walaupun kalimat jawaban peserta didik
itu beraneka ragam, tetap harus ada pokok-pokok penting yang terdapat dalam
sistematika jawabannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan dan
dikehendaki dalam soalnya.
Contoh :
a. Jelaskan
bagaimana masuknya Islam di Indonesia dilihat dari segi ekonomi dan politik.
b. Sebutkan
lima rukum Islam !
2. Uraian Bebas
Dalam
bentuk ini peserta didik bebas untuk menjawab soal dengan cara dan sistematika
sendiri. Peserta didik bebas mengemukakan pendapat sesuai dengan kemampuannya.
Oleh karena itu, setiap peserta didik mempunyai cara dan sistematika yang
berbeda-beda. Namun demikian, guru tetap harus mempunyai acuan atau patokan
dalam mengoreksi jawaban peserta didik nanti.
Contoh :
a. Jelaskan
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia !
b. Bagaimana
peranan pendidikan Islam dalam memecahkan masalah-masalah pokok pendidikan di
Indonesia ?
Sehubungan
dengan kedua bentuk uraian di atas, Depdikbud sering menyebutnya dengan istilah
lain, yaitu Bentuk Uraian Objektif (BUO) dan Bentuk Uraian Non Objektif (BUNO).
Kedua bentuk ini sebenarnya merupakan bagian dari bentuk uraian terbatas,
karena pengelompokkan tersebut hanya didasarkan pada pendekatan/cara pemberian
skor. Perbedaan BUO dan BUNO terletak pada kepastian pemberian skor. Pada soal
BUO, kunci jawaban dan pedoman penskorannya lebih pasti. Kunci jawaban disusun
menjadi beberapa bagian dan setiap bagian diberi skor. Sedangkan pada soal
BUNO, pedoman penskoran dinyatakan dalam rentangan (0 – 4 atau 0 – 10),
sehingga pemberian skor dapat dipengaruhi oleh unsur subjektif. Untuk
mengurangi unsur subjektifitas ini, Anda dapat melakukannya dengan cara membuat
pedoman penskoran secara rinci dan jelas, sehingga pemberian skor dapat relatif
sama.
1. Bentuk Uraian Objektif (BUO).
Bentuk
uraian seperti ini memiliki sehimpunan jawaban dengan rumusan yang relatif
lebih pasti, sehingga dapat dilakukan penskoran secara objektif. Sekalipun
pemeriksa berbeda tetapi dapat menghasilkan skor yang relatif sama. Soal bentuk
ini memiliki kunci jawaban yang pasti, sehingga jawaban benar bisa diberi skor
1 dan jawaban salah 0. Anthony J.Nitko (1996) menjelaskan bentuk uraian
terbatas dapat digunakan untuk menilai hasil belajar yang kompleks, yaitu
berupa kemampuan-kemampuan : menjelaskan hubungan sebab-akibat, melukiskan
pengaplikasian prinsip-- prinsip, mengajukan argumentasi-argumentasi yang
relevan, merumuskan hipotesis dengan tepat, merumuskan asumsi yang tepat,
melukiskan keterbatasan data, merumuskan kesimpulan secara tepat, menjelaskan metoda
dan prosedur, dan hal-hal sejenis yang menuntut kemampuan peserta didik untuk
melengkapi jawabannya.
Dalam
penskoran bentuk soal uraian objektif, skor hanya dimungkinkan menggunakan dua
kategori, yaitu benar atau salah. Untuk setiap kata kunci yang benar diberi
skor 1 (satu) dan untuk kata kunci yang dijawab salah atau tidak dijawab diberi
skor 0 (nol). Dalam satu rumusan jawaban dapat mengandung lebih dari satu kata
kunci, sehingga skor maksimum jawaban dapat lebih dari satu. Kata kunci
tersebut dapat berupa kalimat, kata, bilangan, simbol, gambar, grafik, ide,
gagasan atau pernyataan. Diharapkan dengan pembagian yang tegas seperti ini,
unsur subjektifitas dapat dihindari atau dikurangi.
Adapun
langkah-langkah pemberian skor soal bentuk uraian objektif adalah :
a. Tuliskan
semua kata kunci atau kemungkinan jawaban benar secara jelas untuk setiap soal.
b. Setiap kata
kunci yang dijawab benar diberi skor 1. Tidak ada skor setengah untuk jawaban
yang kurang sempurna. Jawaban yang diberi skor 1 adalah jawaban sempurna, jawaban
lainnya adalah 0.
c. Jika satu
pertanyaan memiliki beberapa sub pertanyaan, rincilah kata kunci dari jawaban
soal tersebut menjadi beberapa kata kunci sub jawaban dan buatkan skornya.
d. Jumlahkan
skor dari semua kata kunci yang telah ditetapkan pada soal tersebut. Jumlah
skor ini disebut skor maksimum.
Contoh :
Indikator : Menghitung isi bangun ruang (balok)
dan mengubah satuan ukurannya.
Soal :
Sebuah bak penampung air berbentuk balok
berukuran panjang 100 cm,lebar 70 cm dan tinggi 60 cm. Berapa liter isi bak
penampung mampu menyimpan air ?
2. Bentuk Uraian Non-Objektif (BUNO).
Bentuk
soal seperti ini memiliki rumusan jawaban yang sama dengan rumusan jawaban
uraian bebas, yaitu menuntut peserta didik untuk mengingat dan mengorganisasikan
(menguraikan dan memadukan) gagasan-gagasan pribadi atau hal-hal yang telah
dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut
dalam bentuk uraian tertulis sehingga dalam penskorannya sangat memungkinkan adanya
unsur subjektifitas. Bentuk uraian bebas dapat digunakan untuk menilai hasil
belajar yang bersifat kompleks, seperti kemampuan menghasilkan, menyusun dan
menyatakan ide-ide, memadukan berbagai hasil belajar dari berbagai bidang
studi, merekayasa bentuk-bentuk orisinal (seperti mendisain sebuah eksperimen),
dan menilai arti atau makna suatu ide.
Dalam
penyekoran soal bentuk uraian non-objektif, skor dijabarkan dalam rentang.
Besarnya rentang skor ditetapkan oleh kompleksitas jawaban, seperti 0 – 2, 0
-4, 0 – 6, 0 – 8, 0 – 10 dan lain-lain. Skor minimal harus 0, karena peserta
didik yang tidak menjawab pun akan memperoleh skor minimal tersebut. Sedangkan
skor maksimum ditentukan oleh penyusun soal dan keadaan jawaban yang dituntut
dalam soal tersebut. Adapun langkah-langkah pemberian skor untuk soal bentuk
uraian non-objektif adalah :
a. Tulislah
garis-garis besar jawaban sebagai kriteria jawaban untuk dijadikan pegangan
dalam pemberian skor.
b. Tetapkan
rentang skor untuk setiap kriteria jawaban.
c. Pemberian
skor pada setiap jawaban bergantung pada kualitas jawaban yang diberikan oleh
peserta didik.
d. Jumlahkan
skor-skor yang diperoleh dari setiap kriteria jawaban sebagai skor peserta
didik. Jumlah skor tertinggi dari setiap kriteria jawaban disebut skor maksimum
dari suatu soal.
e. Periksalah
soal untuk setiap nomor dari semua peserta didik sebelum pindah ke nomor soal
yang lain. Tujuannya untuk menghindari pemberian skor berbeda terhadap jawaban
yang sama.
f. Jika setiap
butir soal telah selesai diskor, hitunglah jumlah skor perolehan peserta didik
untuk setiap soal. Kemudian hitunglah nilai tiap soal dengan rumus :
Skor
perolehan peserta didik
Nilai
Tiap Soal = ———————————————— x bobot soal
skor
maksimum tiap butir soal
g. Jumlahkan
semua nilai yang diperoleh dari semua soal. Jumlah nilai ini disebut nilai
akhir dari suatu perangkat tes yang diberikan.
Contoh :
Indikator : Menjelaskan alasan yang membuat kita
harus banggasebagai bangsa Indonesia.
Soal : Jelaskan alasan yang membuat kita perlu
bangga sebagai bangsa Indonesia !
Untuk
meningkatkan objektifitas hasil pemeriksaan jawaban, ada beberapa hal yang harus
Anda perhatikan, antara lain :
1. Untuk
memperoleh soal bentuk uraian yang baik harus disusun rencana yang baik pula.
Anda harus mengingat kembali prinsip-prinsip penyusunan tes dan langkah-langkah
pengembangan tes secara umum.
2. Dalam
menulis soal bentuk uraian, Anda harus mempunyai gambaran tentang ruang lingkup
materi yang ditanyakan dan lingkup jawaban yang diharapkan, kedalaman dan
panjang jawaban atau rincian jawaban yang mungkin diberikan oleh peserta didik.
Hal ini dimaksudkan agar dapat menghindari kemungkinan terjadinya kerancuan
soal dan dapat mempermudah pembuatan kriteria atau pedoman penyekoran.
3. Setelah
menulis soal, Anda harus segera menyusun kunci jawaban atau pokok-pokok jawaban
dan pedoman penyekoran, yang berisi tentang :
a. Batasan
atau kata-kata kunci untuk melakukan penyekoran terhadap soal bentuk uraian
objektif.
b. Kriteria
jawaban yang digunakan untuk melakukan penyekoran terhadap soal bentuk uraian
non-objektif.
4. Semua
identitas peserta didik harus disembunyikan agar tidak terlihat sebelum dan
selama memeriksa. Jika memungkinkan, identitas peserta didik cukup diganti
dengan kode tertentu.
5. Jauhkanlah
hal-hal yang dapat mempengaruhi subjektifitas pemberian skor, seperti bentuk
tulisan/huruf, ukuran kertas, ejaan, struktur kalimat, kerapihan, dan
lain-lain.
B. Metode Pengoreksian Soal Bentuk Uraian
Untuk
mengoreksi soal bentuk uraian dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu “metode
per nomor (whole method), metode per lembar (separated method), dan
metode bersilang (cross method)” (Zainal Arifin, 1991, 30).
1. Metode
per nomor. Di sini Anda mengoreksi hasil jawaban peserta didik untuk setiap
nomor. Misalnya, Anda mengoreksi nomor satu untuk seluruh peserta didik,
kemudian nomor dua untuk seluruh peserta didik, dan seterusnya. Kebaikannya
adalah pemberian skor yang berbeda atas dua jawaban yang kualitasnya sama
hampir tidak akan terjadi, karena jawaban peserta didik yang satu selalu
dibandingkan dengan jawaban peserta didik yang lain. Sedangkan kelemahannya
adalah pelaksanaannya terlalu berat dan memakan waktu banyak.
2. Metode
per lembar. Di sini Anda mengoreksi setiap lembar jawaban peserta didik mulai
dari nomor satu sampai dengan nomor terakhir. Kebaikannya adalah relatif lebih
murah dan tidak memakan waktu banyak. Sedangkan kelemahannya adalah guru sering
memberi skor yang berbeda atas dua jawaban yang sama kualitasnya, atau
sebaliknya.
3. Metode bersilang. Disini Anda mengoreksi
jawaban peserta didik dengan jalan menukarkan hasil koreksi dari seorang
korektor kepada korektor yang lain. Jika telah selesai dikoreksi oleh seorang
korektor, lalu dikoreksi kembali oleh korektor yang lain. Kelebihannya adalah
faktor subjektif dapat dikurangi. Sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan
waktu dan tenaga yang banyak.
Dalam
pelaksanaan pengoreksian, Anda boleh memilih salah satu diantara ketiga metode tersebut,
atau mungkin Anda menggunakannya secara bervariasi. Hal ini harus disesuaikan
dengan kebutuhan. Misalnya, Anda menghendaki hasil jawaban yang betul-betul
objektif, maka lebih tepat bila kita menggunakan metode bersilang. Sebaliknya,
bila ada waktu luang, Anda dapat menggunakan metode pernomor atau metode per
lembar.
Selanjutnya,
Zainal Arifin (1991 : 30) mengemukakan “ di samping metode metode di atas, ada
juga metode lain untuk mengoreksi jawaban soal bentuk uraian, yaitu
“analytical method dan sorting method”.
1. Analytical
method, yaitu suatu cara untuk mengoreksi jawaban
peserta didik dan guru sudah menyiapkan sebuah model jawaban, kemudian
dianalisis menjadi beberapa langkah atau unsur yang terpisah, dan setiap
langkah disediakan skor-skor tertentu. Setelah satu model jawaban tersusun,
maka jawaban masing-masing peserta didik dibandingkan dengan model jawaban tersebut,
kemudian diberi skor sesuai dengan tingkat kebenarannya.
2. Sorting method, yaitu metode
memilih yang dipergunakan untuk memberi skor terhadap jawaban-jawaban yang
tidak dibagi-bagi menjadi unsur-unsur. Jawaban-jawaban peserta didik harus
dibaca secara keseluruhan.
Anda
juga dapat menggunakan metode lain untuk pemberian skor soal bentuk uraian,
yaitu :
1. Point
method, yaitu setiap jawaban dibandingkan dengan
jawaban ideal yang telah ditetapkan dalam kunci jawaban dan skor yang diberikan
untuk setiap jawaban akan bergantung kepada derajat kepadanannya dengan kunci jawaban.
Metode ini sangat cocok digunakan untuk bentuk uraian terbatas, karena setiap
jawaban sudah dibatasi dengan kriteria tertentu.
2. Rating
method, yaitu setiap jawaban peserta didik ditetapkan
dalam salah satu kelompok yang sudah dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya
selagi jawaban tersebut dibaca. Kelompok-kelompok tersebut menggambarkan kualitas
dan menentukan berapa skor yang akan diberikan kepada setiap jawaban. Misalnya,
sebuah soal akan diberi skor maksimum 8, maka bagi soal tersebut dapat dibuat 9
kelompok jawaban dari 8 sampai 0. Metode ini sangat cocok digunakan untuk
bentuk uraian bebas.
Setiap
bentuk soal tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Begitu juga bentuk
uraian. Kebaikan tes bentuk uraian antara lain (1) menyusunnya relative mudah
(2) guru dapat menilai peserta didik mengenai kreatifitas, menganalisa dan
mengsintesa suatu soal. Hal ini berarti memberikan kebebasan yang luas kepada
peserta didik untuk menyatakan tanggapannya (3) guru dapat memperoleh data-data
mengenai kepribadian peserta didik (4) peserta didik tidak dapat menerka-nerka
(5) derajat ketepatan dan kebenaran peserta didik dapat dilihat dari ungkapan
kalimat-kalimatnya (6) sangat cocok untuk mengukur dan menilai hasil belajar
yang kompleks, yang sukar diukur dengan mempergunakan bentuk objektif.
Kelemahan
tes bentuk uraian antara lain (1) sukar sekali menilai jawaban peserta didik
secara tepat dan komprehensif (2) ada kecenderungan guru untuk memberikan nilai
seperti biasanya (3) menghendaki respon-respon yang relatif panjang (4) untuk
mengoreksi jawaban diperlukan waktu yang lama (5) guru sering terkecoh dalam
memberikan nilai, karena keindahan kalimat dan tulisan, bahkan juga oleh lembar
jawaban (6) hanya terbatas pada guru-guru yang menguasai materi yang dapat
mengoreksi jawaban peserta didik, sehingga kurang praktis bila jumlah peserta
didik cukup banyak.
Dalam
menyusun soal bentuk uraian, ada baiknya Anda ikuti petunjuk praktis berikut
ini.
1. Materi
yang akan diujikan hendaknya materi yang kurang cocok diukur dengan menggunakan
bentuk objektif, seperti :
a. Kemampuan peserta didik untuk menyusun
pendapatnya mengenai suatu masalah.
b. Hasil pekerjaan anak didik setelah mengadakan
kegiatan seperti peninjauan, kerja nyata, dan sebagainya.
c. Kemampuan peserta didik dalam hal berbahasa
Arab.
d. Kecakapan peserta didik dalam memecahkan
masalah.
2. Setiap
pertanyaan hendaknya menggunakan petunjuk dan rumusan yang jelas dan mudah
dipahami, sehingga tidak menimbulkan kebimbangan pada peserta didik. Misalnya :
a. Apa
perbedaan antara ikhfa dengan izhar. Berikan masing-masing dua buah
contoh hurufnya.
b. Apa yang
dimaksud dengan yaumid din dalam surat al-Fatihah ?
c. Mengapa
setiap muslim harus melaksanakan sholat wajib ?
3. Jangan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih beberapa soal dari
sejumlah soal yang diberikan, sebab cara demikian tidak memungkinkan untuk
memperoleh skor yang dapat dibandingkan.
4. Persoalan
yang terkandung dalam tes bentuk uraian hendaknya difokuskan pada hal-hal
seperti : menelaah persoalan, melukiskan persoalan, menjelaskan persoalan,
membandingkan dua hal atau lebih, mengemukakan kritik terhadap sesuatu,
menyelesaikan suatu persoalan seperti menghitung, membuat contoh mengenai suatu
pengertian, memecahkan suatu persoalan dengan jalan mengaplikasikan
prinsip-prinsip yang telah dikuasainya, dan menyusun suatu konsepsi.
C.
Analisis Soal Bentuk Uraian
Ada
dua cara yang dapat dilakukan untuk menganalisis soal bentuk uraian.
Pertama,
secara rasional yang dilakukan sebelum tes itu digunakan/diujicobakan
seperti
menggunakan kartu telaah.
Kedua,
secara empiris yaitu menganalisis hasil ujian atau hasil uji-coba secara kuantitatif.
Untuk itu, ada dua hal yang harus Anda pelajari :
1. Daya Pembeda Soal
Daya
pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara peserta didik
yang pandai (menguasai materi) dengan peserta didik yang kurang pandai
(kurang/tidak menguasai materi). Logikanya adalah peserta didik yang pandai
tentu akan lebih mampu menjawab dibandingkan dengan peserta didik yang kurang
pandai. Indeks daya pembeda biasanya dinyatakan dengan proporsi. Semakin tinggi
proporsi itu, maka semakin baik soal tersebut membedakan antara peserta didik
yang pandai dengan peserta didik yang kurang pandai. Untuk menguji daya pembeda
(DP) ini, Anda perlu menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menghitung
jumlah skor total tiap peserta didik.
b. Mengurutkan
skor total mulai dari skor terbesar sampai dengan skor terkecil.
c. Menetapkan
kelompok atas dan kelompok bawah. Jika jumlah peserta didik banyak (di atas 30)
dapat ditetapkan 27 % .
d. Menghitung
rata-rata skor untuk masing-masing kelompok (kelompok atas maupun kelompok bawah).
e. Menghitung
daya pembeda soal
f. Membandingkan daya pembeda dengan kriteria
seperti berikut :
0.40 ke atas =
sangat baik
0,30 – 0,39
= baik
0,20 – 0,29
= cukup, soal perlu perbaikan
0,19 ke bawah =
kurang baik, soal harus dibuang
2. Tingkat Kesukaran Soal
Tingkat
kesukran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat
kemampuan tertentu yang biasa dinyatakan dengan indeks. Indeks ini biasa
dinyatakan dengan proporsi yang besarnya antara 0,00 sampai dengan 1,00.
Semakin besar indeks tingkat kesukaran berarti soal tersebut semakin mudah.
RANGKUMAN
Tes
merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan
pengukuran, yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan atau
serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik untuk
mengukur aspek perilaku peserta didik. Tes dapat dibagi menjadi beberapa jenis.
Dilihat dari jumlah peserta didik, tes dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tes
kelompok dan tes perorangan. Dilihat dari kajian psikologi, tes dibagi menjadi empat
jenis, yaitu tes intelegensia umum, tes kemampuan khusus, tes prestasi belajar,
dan tes kepribadian. Jika dilihat dari cara penyusunannya, tes juga dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu tes buatan guru dan tes standar. Berdasarkan bentuk
jawaban peserta didik, tes dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tes tertulis,
tes lisan dan tes tindakan. Tes tertulis dibagi menjadi dua bentuk, yaitu
bentuk uraian dan bentuk objektif. Bentuk uraian dibagi lagi menjadi dua, yaitu
bentuk uraian bebas dan bentuk uraian terbatas. Sedangkan bentuk objektif
dibagi menjadi empat bentuk, yaitu benar-salah, pilihan-ganda, menjodohkan, dan
melengkapi/ jawaban singkat. Tes juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
tes kemampuan (power test) dan tes kecepatan (speeds test).
Untuk
mengoreksi soal bentuk uraian dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode
per nomor (whole method), metode per lembar (separated method),
dan metode bersilang (cross method). Di samping itu, ada juga metode
lain untuk mengoreksi jawaban soal bentuk uraian, yaitu analytical method
dan sorting method. Ada juga metode lain, yaitu point method dan
rating method. Untuk mengetahui kualitas soal bentuk uraian dapat dilakukan
dengan menghitung daya pembeda dan tingkat kesukaran soal.
Arifin, Z.
(2009). Evaluasi pembelajaran (Vol. 152). Bandung: PT Remaja
Rosdakarya..
Astiti, K. A.
(2017). Evaluasi pembelajaran. Penerbit Andi.
Matondang, Z.
(2009). Evaluasi Pembelajaran. Program
Pascasarjana Unimed
Nuriyah, N. (2016).
Evaluasi pembelajaran: sebuah kajian teori. Edueksos: Jurnal Pendidikan
Sosial & Ekonomi, 3(1).
Setemen, K. (2010).
Pengembangan evaluasi pembelajaran online. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 43(3).
Materi disampaikan pada DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF TEKNIK EVALUASI PEMBELAJARAN MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI (MTsN) 5 JOMBANG BEKERJASAMA DENGAN BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEAGAMAAN SURABAYA pada tanggal 4 - 9 November 2019 oleh Bapak Zainul Arief, S.Pd., M.H., Widyaiswara Ahli Madya Balai Diklat Keagamaan Surabaya.
Materi disampaikan pada DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF TEKNIK EVALUASI PEMBELAJARAN MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI (MTsN) 5 JOMBANG BEKERJASAMA DENGAN BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEAGAMAAN SURABAYA pada tanggal 4 - 9 November 2019 oleh Bapak Zainul Arief, S.Pd., M.H., Widyaiswara Ahli Madya Balai Diklat Keagamaan Surabaya.
0 comments:
Post a Comment