Laman

Wednesday, May 16, 2018

Guru Sering Mempermudah Nilai, Ingat Akibat Fatal Ini!

Renungan untuk para Guru jaman now 😆

“Jangan kuliah di Jerman. Pilih negara lain. Kecuali kamu siap dengan standar yang ketat”.

Itulah kalimat seorang murid yang kutemui bulan lalu, setelah sekian lama dia lulus dari MTsN tempatku mengajar. Kini, dia kuliah di Jerman. Terlepas dari apakah mayoritas lembaga pendidikan di Jerman menerapkan standar yang ketat atau tidak, saya ingin belajar dari pengalaman muridku tersebut.

Mempermudah anak mendapatkan nilai bagus sama kurang baiknya dengan mempersulit nilai. Keduanya memiliki manipulasi. Mempermudah nilai memiliki risiko yang sangat tidak baik sementara mempersulit nilai menimbulkan tekanan yang bisa mengakibatkan stres.

Jika anda seorang guru dan sering melakukan hal-hal berikut, bisa jadi anda sedang ingin membahagiakan peserta didik dengan mempermudah nilai.

Sering memberikan nilai tambah agar naik kelas.
Sering membantu peserta didik dalam menjawab soal ujian.
Mengeluarkan soal yang sama persis dengan soal yang pernah anda uji dan bahas.
Memberi nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) padahal anak tersebut tidak layak.
Berpikir bahwa anak akan bisa sendiri pada saatnya, lalu mengobral nilai.
Dan seterusnya ....

Memang, nilai di sekolah tidak menjadi ukuran kesuksesan seseorang kelak. Bukan ini yang kita persoalkan. Ada efek pembentukan karakter jika kita mempermudah nilai tanpa memperbaiki proses belajar.

Jangan berpikir bahwa menurunkan standar mampu memberikan pengalaman berprestasi kepada peserta didik dan menaikkan harga diri mereka. Menurunkan standar justru akan memperburuk proses belajar mengajar yang diterima anak. Mereka akan terdidik dengan cara yang buruk. Di samping itu, menaikkan standar tanpa memperbaiki proses dan tanpa memberikan cara-cara untuk mencapainya adalah awal mula malapetaka.

Mulai sekarang, mari kita tetapkan standar yang ingin kita capai. Kemudian, kita perbaiki proses belajar dengan menciptakan pembelajaran yang hubungan antara guru dan peserta didiknya tercipta saling percaya dan bukan saling menghakimi.

Seringkali seperti kata Carol S. Dweck, jika siswa tidak bermain sesuai irama, itu karena mereka belum mempelajari caranya. Cara mengoptimalkan hasil belajar bukanlah dengan cara menurunkan standar, melainkan memperbaiki hubungan antara guru dan murid dan memperbaiki proses belajar.

Kalau kita tidak mau memperbaiki diri, maka inilah akibat fatal yang akan terjadi.

1. Merasa berhak mendapatkan tugas mudah (lihat efeknya mulai dari SD/MI hingga dunia kerja!)

Anak yang terlatih dengan bantuan kemudahan, maka akan terus menggantungkan dirinya dengan bantuan tersebut. Dia akan terus berfikir bahwa belajar tidak perlu rajin. Toh, nanti juga bisa mendapatkan nilai dan naik kelas juga.

Efek bagi murid
Anak bukannya tertantang ketika mendapat masalah, melainkan mengeluh dan menyalahkan pihak lain.  Baginya, seharusnya guru memberikan soal yang lebih mudah. Akhirnya, anak-anak sudah merasa berhak mendapatkan tugas mudah. Maka jangan heran jika masih banyak yang mengidolakan “jam kosong” di sekolah, mengidolakan guru yang memperbolehkan apa saja dan tetap memberikan nilai bagus.

Ketika tugas mudah dianggap hak, maka anak akan terus menawar dan menuntut untuk mendapatkan kemudahan. Bahkan di dunia kerja, ditemukan fakta bahwa mayoritas usia kerja tidak menyukai pekerjaannya dan tetap bertahan. Bisa jadi, karena mereka berpikir “yang penting tidak terlalu capek dan tetap mendapatkan bayaran.”
 
Efek bagi guru
Masih ada saja guru yang tidak sadar telah menurunkan standar belajar beserta hasil belajar dalam bentuk nilai. Kadang beralasan bahwa anak-anaknya sulit diajak belajar, susah konsentrasi, lambat, dan malas, padahal kesabaran guru yang berkurang atau kreatifitasnya yang minim. Bukan peserta didiknya yang salah.

Ada juga yang melepas tanggung jawab dengan cara memberikan nilai bagus meskipun anak-anak tidak paham, tidak memperhatikan, tidak mencoba, tidak mengalami, dan tidak belajar.

Maka yang terjadi adalah guru menyalahkan murid atau guru hanya melakukan tugasnya saja tanpa kepedulian terhadap tumbuh kembang anak.   

2. Hilangnya kerja keras dan suburnya “main aman”.

Seorang anak yang berpikir bisa mendapatkan sesuatu tanpa harus kerja keras, maka anak tersebut akan menerimanya sebagai kebenaran. Dia akan terus berpikir bahwa tidak ada yang perlu diperjuangkan mati-matian. Ini sungguh tidak baik.
Saat di sekolah, anak akan kehilangan gairah dan selalu biasa saja. Tidak menyelesaikan tugas, biasa saja. Tidak menguasai kemampuan tertentu, biasa saja. Sering absen sekolah, biasa saja. Dan seterusnya.

Kalau mayoritas generasi kita berpikir demikian, maka standar bangsa kita juga akan kesulitan untuk bisa naik dan bersaing dengan bangsa lain.

Lebih mengkhawatirkan lagi jika kemudian budaya yang berkembang adalah budaya “main aman ”. Banyak orang berpikir bahwa mereka hanya bertugas menyelesaikan tugas saja. Mereka tidak lagi berpikir tentang pengembangan diri, kemajuan, apalagi tentang kreativitas. Yang penting tidak di-PHK, tidak di-DO saat kuliah, tidak dipecat dan tidak kehilangan pekerjaan, maka “saya aman”.

Untuk kondisi saat ini, di dunia medsos, kita akan bisa melihat karakter ini dalam bentuk keengganan cek dan ricek, serta riset sederhana tentang sebuah berita. Yuk, mari berubah!


Sumber: www.sejutaguru.com

0 comments: