Laman

Sunday, February 26, 2017

Sebelas Rumus dari Gus Mus

1) Dulu, pesantren lebih mengedepankan unsur pendidikan (tarbiyah) ketimbang pengajaran (ta’lim)-nya. Sekarang kondisinya berbalik 180 derajat. Madrasah tambah mentereng, pesantren kian menjulang. Tapi kiainya nganggur.

2) Jika hendak mengembalikan marwah pesantren kembali ke puncak kejayaannya, kiai sekarang perlu berjihad keras untuk mencapai taraf keikhlasan kiai-kiai tempo dulu. Sekarang: di mana ada kiai mandiri? Kiai sekarang ahli proposal semua.

3) Kiai dulu kalau tidak butuh apa-apa, namanya kaya. Kiai sekarang?

4) Mewacanakan konsep zuhud untuk konteks masyarakat Indonesia yang tengah begitu konsumtif dan hedon adalah laku ekstrem. Kita harus berangkat dari konsep “kecil” berupa: kesederhanaan. Sebab kesederhanaan akan melahirkan kekayaan dari dalam, bukan kekayaan dari luar.

5) Yang hilang dari para mubaligh, pendidik dan da’i sekarang adalah ruh ad da’wah (ruh dakwah) yang sejuk dan menyegarkan. Ruh dakwah yang ditebarkan oleh Nabi, Walisanga, ulama-ulama salaf, terkikis oleh perangai dakwah yang mengancam dan menakutkan. Model dakwah seperti ini tidak mengajak, tapi malah mendepak. Padahal, “aku diutus untuk mengajak, bukan untuk melaknat”, ujar salah satu hadits Nabi.

6) Ada perbedaan tajam antara makna dakwah (ajakan) dan amar (perintah). Tapi kini kedua term itu dicampur-adukkan maknanya hingga menghasilkan konsep yang rancu.

7) Nasionalisme itu bukan produk Barat. Kiai-kiai kita sejak dulu sudah menggelorakan itu pada santri-santrinya. Sebab itu, santri yang tak mencintai negerinya akan kualat oleh tuah Mbah Wahab, Mbah Hasyim Asyari, dan kiai-kiai lain yang menyimpan Indonesia dalam urat nadinya.

8) Satu di antara penyakit orang Indonesia adalah: kepentingan dulu dikedepankan, masalah dalil baru dicari belakangan.

9) Salah satu ciri khas pesantren adalah tanggung jawab ilmiah ila yawmil qiyamah.

10) Dalam mendidik, metode cerita/dongeng ditengarai masih sangat  efektif. Karena cerita tidak mengancam. Tapi begitu meresap.

11) Untuk mendidik anak, seorang Ibu punya modal terbesar: kasih sayang. Elusan telapak tangan Ibu tak bisa diganti oleh seribu elusan tangan baby sitter.

Tambakberas, 26 April 2016

0 comments: