Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah saw bersabda :
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
Halal bi Halal tak terpisahkan dengan hari raya idul fitri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturrahmi.
Menurut Prof Dr Quraish Shihab, istilah Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Dengan demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”. Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal. [Buku : Membumikan Al-Qur'an]
Masihkah diperlukan Halal bi Halal setelah kita melakukan puasa, yang mana Nabi bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu [HR. Bukhari].
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita harus mengetahui bahwa pertama, dosa yang diampuni dalam hadits tersebut adalah dosa kecil. Rasul SAW bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَ يَقُولُ : الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara sholat lima waktu, jum’at ke jumat, Ramadhan ke Ramadhan akan menghapuskan dosa-dosa antaranya jika dosa-dosa besar dijauhi”. [HR. Muslim].
Dosa besar itu seperti “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, persaksian palsu. [HR. Bukhari]. Dosa besar seperti ini tidak bisa dilebur kecuali dengan taubatan nashuha.
Kedua, Jika dosanya bersifat haqqul adami atau kesalahan pada manusia maka haruslah ia membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi sebagaimana terdapat pada hadits utama di atas. Jika menyangkut harta benda maka ia harus mengembalikannya dan bila menyangkut non-materi seperti ghibah maka hendaknya ia meminta maaf. Namun haruskah kita menjelaskan secara detail ghibah tersebut? Ulama berbeda pendapat. Yang pertama mengatakan harus menjelaskannya, pendapat ini adalah Adhar (lebih jelas argumentasinya) dan pendapat yang kedua mengatakan :
لا يشترط ، لأن هذا مما يتسامح فيه ، فلا يشترط علمه ، بخلاف المال .
Tidak disyaratkan untuk menjelaskan secara detail ghibah tersebut karena hal ini termasuk bagian yang dimaafkan maka tidak harus memberi tahu kepadanya. Berbeda dengan dosa yang berkenaan dengan harta.
فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات .
Namun jika orangnya telah meninggal atau tidak ada dan sulit meminta maafnya maka ulama berpendapat sebaiknya ia memperbanyak istighfar untuknya, berdoa dan memperbanyak kebaikan. [kitab Al-Adzkar].
Orang yang enggan meminta maaf atas kesalahan kepada saudaranya maka amal kebaikannya akan diambil untuk saudaranya, atau jika tidak maka dosa amal buruk saudaranya itu akan ditimpakan kepadanya hingga ia akan menjadi orang yang muflis (merugi) seperti sabda Nabi SAW:
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Wallahu A’lam
Semoga Allah SWT membuka hati dan fikiran kita untuk ringan hati meminta maaf dan memafkan kesalahan orang lain.
Amiinnn...
0 comments:
Post a Comment