Salam Semua,
Sebuah artikel menarik dari R Khasali tentang potret pendidikan kita. Semoga bisa menjadi bahan perenungan dan mungkin inspirasi bagi pengambil kebijakan pendidikan.
Regards,
Sebuah artikel menarik dari R Khasali tentang potret pendidikan kita. Semoga bisa menjadi bahan perenungan dan mungkin inspirasi bagi pengambil kebijakan pendidikan.
Regards,
Anik
Zahroh
Benarkah
Makin Berat, Makin Hebat?
Thursday, 14 July 2011
Sebagian besar pembaca mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi sulit, sehingga kaya berbagai peribahasa, seperti: hemat pangkal kaya dan rajin pangkal pandai. Kita bermain layang-layang, menangkap belut,bermain bersama anak-anak kampong dengan tiada henti canda, tawa,dan keringat.
Bagaimana anak-anak sekarang? Lahan kosong berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah.Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook,Twitter, Online Games, warung internet, dan bimbingan belajar.
Pergaulan fisik diganti dunia maya, statistik, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran, sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anakanak kita? Bukannya dikurangi, melainkan semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak.
Sementara di Selandia Baru dan banyak negara maju anakanak sekolah hanya mengambil enam mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit ”The Power of Simplicitnya”, kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, kalau terlalu mudah, tidak akan melahirkan kehebatanya.
Bukan hanya itu, di banyak negara, selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan karier. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang “sacral”, wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan.
Ubah Cara Pandang
Namun, sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, China, dan Selandia baru, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang”. Saya dapat mengerti pandangan ini, karena anaknya termasuk cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi.
Namun, saya kurang mengerti bagaimana orang tua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar. Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang tahu semua, tapi selalu bertanya, “Saya harus melakukan apa?”. Ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang tak bias bekerja dengan prioritas.
Thursday, 14 July 2011
Sebagian besar pembaca mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi sulit, sehingga kaya berbagai peribahasa, seperti: hemat pangkal kaya dan rajin pangkal pandai. Kita bermain layang-layang, menangkap belut,bermain bersama anak-anak kampong dengan tiada henti canda, tawa,dan keringat.
Bagaimana anak-anak sekarang? Lahan kosong berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah.Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook,Twitter, Online Games, warung internet, dan bimbingan belajar.
Pergaulan fisik diganti dunia maya, statistik, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran, sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anakanak kita? Bukannya dikurangi, melainkan semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak.
Sementara di Selandia Baru dan banyak negara maju anakanak sekolah hanya mengambil enam mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit ”The Power of Simplicitnya”, kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, kalau terlalu mudah, tidak akan melahirkan kehebatanya.
Bukan hanya itu, di banyak negara, selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan karier. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang “sacral”, wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan.
Ubah Cara Pandang
Namun, sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, China, dan Selandia baru, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang”. Saya dapat mengerti pandangan ini, karena anaknya termasuk cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi.
Namun, saya kurang mengerti bagaimana orang tua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar. Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang tahu semua, tapi selalu bertanya, “Saya harus melakukan apa?”. Ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang tak bias bekerja dengan prioritas.
Saya juga kurang
mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah, talenta
harus diasah, diberi ruang, dan waktu agar ia tumbuh. Leadership maupun entrepreneurship diasah dari keseharian di
luar bangku sekolah.
Diuji dalam interaksi kehidupan.
Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping, apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karier sebagai penguji di program S-3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi semua penguji tidak puas, kandidat digoreng ke kiri, di-ongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor, saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya, “Beginikah cara Bapak-Bapak menguji seorang calon doctor?”. Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik.Karena malu telah berkata- kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri.
Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan. Saya pun mengatakan,andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus.
Pertanyaan ujian terlalu luas.Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.
Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.
Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini, kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita? Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar enam mata pelajaran seperti di Selandia Baru, Denmark, atau negara-negara industry lainnya?
Namun, fakta yang saya temui ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan Selandia Baru terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?
Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping, apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karier sebagai penguji di program S-3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi semua penguji tidak puas, kandidat digoreng ke kiri, di-ongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor, saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya, “Beginikah cara Bapak-Bapak menguji seorang calon doctor?”. Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik.Karena malu telah berkata- kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri.
Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan. Saya pun mengatakan,andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus.
Pertanyaan ujian terlalu luas.Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.
Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.
Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini, kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita? Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar enam mata pelajaran seperti di Selandia Baru, Denmark, atau negara-negara industry lainnya?
Namun, fakta yang saya temui ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan Selandia Baru terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?
By: RHENALD KASALI, Ketua Program MM
UI
Persoalan seperti ini juga pernah saya tulis, yang intinya
sekolah dinegara kita terlalu banyak
mata pelajarannya, apalagi untuk madrasah, terutama yang berada dilingkungan pesantren, e.g. MTsN Tambakberas Jombang. Kalau kita bandingkan dengan Negara-negara lain
yang rata-rata mengambil 6 mata pelajaran. Terlalu komplek masalahnya kalau
kita masih bertahan di banyak mata pelajaran yang kita ajarkan disekolah. Saya
juga sedih melihat siswa-siswa dan anak
saya sendiri yang dijejali dengan banyak mata pelajaran dan tugas. Padahal
tidak semuanya punya talenta di semua mata pelajaran. Saya jadi
ingat cerita anekdot tentang pembelajaran, ceritanya seperti ini...
Dalam sebuah kelas binatang terdiri dari seekor harimau,
monyet, kijang, buaya, gajah; semua
binatang wajib mempelajari semua mata pelajaran yang diajarkan. Pada
pelajaran menangkap mangsa hanya harimau saja nilainya yang tuntas dan termasuk
tinggi, sedangkan monyet dan kijang nilainya jauh di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), buaya dibatas
tuntas dan gajah tuntas setelah diremidi. Kemudian
pada pelajaran memanjat pohon, hanya
monyet saja nilainya tuntas jauh diatas semuanya, harimau dibatas tuntas, buaya dan gajah tidak pernah tuntas, dan seterusnya pada mata pelajaran berlari, berenang, mengangkat banda berat. Kesimpulannya banyak binatang yang tidak tuntas pada mata pelajarannya, karena semuanya wajib mempelajarinya. Ini hanya cerita anekdot gambaran tentang pembelajaran.
monyet saja nilainya tuntas jauh diatas semuanya, harimau dibatas tuntas, buaya dan gajah tidak pernah tuntas, dan seterusnya pada mata pelajaran berlari, berenang, mengangkat banda berat. Kesimpulannya banyak binatang yang tidak tuntas pada mata pelajarannya, karena semuanya wajib mempelajarinya. Ini hanya cerita anekdot gambaran tentang pembelajaran.
Kembali pada persoalan terlalu banyaknya pelajaran yg di
ajarkan di sekolah akan menimbulkan banyak permasalahn pendidikan: seperti
terlalu dangkal yg di pelajari, tidak sempat membuat siswa berfikir kritis
dan analitis, siswa hanya cenderung dengan hafalan saja. Tidak ada
kesempatan bagi siswa untuk
mengembangkan kreatifitas dan aktifitas dirinya. Ada beberapa siswa mengeluhkan, rasanya tidak cukup
waktu 24 jam yang disedikan untuk mengerjakan tugas dan pembelajaran di
sekolah.
Intinya kalau
memang ada kebijakan mengurangi mata pelajaran disekolah, maka saya
akan mendukungnya. Tapi lama
belajar di sekolah tetap, hanya pengurangan beban mata pelajaan yg terlalu
banyak, agar tiap mata pelajaran dapat memperdalam pelajarannya dan berguna
bagi siswa sesuai dengan kemampuan, minat dan
bakatnya masing-masing, tidak
mengambil seluruh mata pelajaran yang tidak pernah
bisa di kuasainya.
Tulisan ini saya buat karena rasa prihatin saya pada beberapa siswa ditempat saya mengajar yang tidak bisa mengikuti UAS (Ulangan Akhir Semester) karena belum tuntas menghafalkan tahassus (hafalan juz amma, baca kitab, dan bacaan-bacaan ibadah). Jika setiap siswa dituntut untuk bisa menguasai begitu banyak pelajaran, namun mereka tidak mampu, lalu apa yang akan didapatkan oleh mereka selama dalam pembelajaran (baca: output siswa). Bagaimanakah dengan realisasi kurikulum 2013 nanti?
Semoga tulisan ini bisa dijadikan bahan muhasabah bagi
para pendidik dan pemerhati pendidikan...