Laman

Friday, July 26, 2019

Sistem ZONASI Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)

“Alhamdulillah, Bu,  sekarang ada sistem zona,” ujar seorang ibu suatu hari kepada saya.   “Akhirnya anak saya kan mau bersekolah di tempat yang dekat rumah. Saya kan tidak banyak mengeluarkan biaya. Berangkat saja bisa jalan kaki, tidak perlu kost, tidak perlu bensin, bisa mengawasi dari dekat. Pokoknya menguntungkan saya,” Ia melanjutkan ungkapannya dengan suka cita.

Narasi tersebut memang disampaikan seorang ibu yang latar belakangnya memang kurang mampu. Suaminya seorang buruh tani dan ia sendiri seorang tukang pijat. Kemampuan anaknya pun sedang-sedang saja. Wajarlah jikalau menyampaikan hal yang seperti itu. Baginya justru sangat menguntungkan. Pikirannya  jauh dari jangkauan bahwa anaknya akan menjadi siswa berprestasi. Bahwa anaknya akan melanjutkan pendidikan di sebuah Perguruan Tinggi ternama. Pemikirannya sangat sederhana  yaitu  bahwa dia tidak mengeluarkan biaya banyak. Itu saja.

Berbeda dengan saat saya  dicurhati oleh seorang yang kondisinya lebih dalam hal materi dan kebetulan anaknya memiliki talenta.
“Saya bingung Bu, anak saya tak mungkin bisa melanjutkan di sekolah favorit. Padahal dia memiliki banyak piagam penghargaan.” Ujarnya bersedih.
“Ini namanya kan tidak memberi kebebasan kepada anak. Padahal  ia ingin ke sekolah  yang diidamkannya. Sementara ada penerapan sistem zona. Bagaimana lagi sudah kebijakan pemerintah,” ibu tersebut menyampaikan dengan wajah muram.

Fakta kedua dari ilustrasi di atas ternyata lebih banyak saya  dapatkan daripada yang pertama. Kondisi  inilah yang menyedot perhatian masyarakat. Jika  sebelumnya semua sekolah unggulan menjadi pusat incaran para siswa berprestasi, kini tidak demikian. Kalangan yang tidak berterima ini justru saya  amati dari kalangan menengah ke atas. Buktinya banyak viral  WhatsApp yang menggambarkan bagaimana para wali murid mendatangi kantor Dinas Pendidikan atau bahkan dewan pendidikan untuk  mengevaluasi kembali kebijakan pendidikan tersebut. Bahkan ada  juga yang secara langsung menyampaikan hal itu kepada presiden. Namun perilaku protes dan tidak terima  yang menimbulkan kekecewaan tersebut wajar juga karena  memang  pendidikan merupakan upaya orang tua dalam meningkatkan taraf hidup anak-anaknya di kelak kemudian hari.

Kebijakan sudah diberlakukan. Mau tidak mau seluruh masyarakat wajib mengikuti regulasi yang sudah diputuskan pemerintah. Sayangnya berita yang saya  simak  di sebuah koran harian (Jawa Pos, Minggu, 23/6/2019) diberitakan  bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan modifikasi  penyelenggaraan  PPDB yang dituangkan dalam S.E. Nomor 3  Tahun 2019 yang diterbitkan Jumat (21/6) yang berisi penyesuaian Kuota. Bahwa yang semula dalam aturan Permendikbud 51/2018 sekolah wajib menerima 90 persen, kini menjadi paling sedikit 80 persen, dengan ketentuan jalur prestasi paling banyak 15 persen dan jalur perpindahan wali murid paling banyak 5 persen. Yang disayangkan ialah bahwa ada beberapa sekolah yang sudah selesai PPDB-nya sehingga kesempatan itu tidak didapatkan.

Kondisi terakhir  tersebut tentunya sangat tidak diharapkan karena  mengakibatkan kondisi yang tidak sama lagi. Ada sekolah yang sudah telanjur menerapkan aturan yang pertama dan ada pula sekolah yang merujuk pada S.E terbaru. Hal ini tentunya menimbulkan masalah baru, yaitu lagi –lagi ketidakpuasan karena momen turunnya surat edaran yang terkesan terlambat. Bahkan mungkin juga mencerminkan pemerintah yang kurang maksimal terhadap  sosialisasi sistem zonasi ini.

Turunnya surat edaran dengan ketentuan yang berbeda dengan kebijakan awal pada akhirnya pun mengakibatkan polemik lagi. Wajar jika seorang pengamat pendidikan, Doni Koesoema menyayangkan adanya revisi Permendikbud 51/2018 (Jawa Pos,23/6). Menurutnya Kemendikbud terkesan kalah dengan tekanan masyarakat. Seharusnya Kemendikbud tidak reaktif bahkan sampai mengubah ketentuan PPDB. Aksi protes atau demonstrasi tidak harus dituruti atau bahkan sampai merevisi kebijakan. Kecuali jika ada indikasi melanggar peraturan.

Kritisi terhadap pemerintah tersebut ada benarnya. Saya mencermati bahwa ada dua hal yang menyebabkan kebijakan sistem zonasi ini menimbulkan pro-kontra. Yang pertama, pemerintah kurang matang dalam mengambil keputusan. Hal ini terbukti munculnya kebijakan baru karena unsur protes dan penekanan dari para wali murid atau masyarakat. Harusnya sebelum kebijakan diberlakukan harus disosialisasikan dulu dengan pihak terkait terutama ahli, pelaku, dan pengamat pendidikan yang tidak sedikit di negeri ini. Dengan mempertimbangkan segala aspek positif dan negatifnya barulah kebijakan disosialisasikan kepada khalayak.

Faktor yang kedua pemerintah belum maksimal dalam melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat. Harusnya pemerintah memberikan informasi  itu berupa motivasi yang difokuskan pada  upaya pengubahan  mindset masyarakat. Yang sebelumnya berpola pikir bahwa jika “bersekolah di sekolah unggulan pasti berhasil dan berprestasi” diubah menjadi pola pikir bahwa “bersekolah di mana pun tidak menjadi masalah. Yang penting berusaha menjadikan sekolah unggul dengan  berbagai prestasi”. Hal ini pasti lebih bijak sehingga masyarakat tidak merasa kaget atau kecewa terhadap setiap kebijakan pemerintah. Untuk itu ke depan pemerintah harus lebih hati-hati dan bijaksana dalam menagambil segala keputusan supaya tidak merugikan masyarakat.

Momen ini setidaknya  juga menjadi pembelajaran bagi berbagai pihak baik anak didik, wali murid, dan masyarakat umum untuk selalu “berpositif thinking”. Bahwa segala kebijakan pemerintah pastilah demi kepentingan bersama untuk mendapatkan generasi Indonesia yang bertakwa, beradab dan berakhlak mulia demi membangun bangsa tercinta.

0 comments: