Laman

Wednesday, January 25, 2017

Untuk Seorang Pendaki Gunung

Disiplin (Keilmuan) Sosial Bagi Seorang Pendaki Gunung Adalah Sebuah Keniscayaan (Tuntutan).

Isi
1. Definisi Disiplin Sosial
2. Siapa Pendaki Gunung
3. Mereka yang disebut Pecinta Alam
4. Pendaki Gunung = Pecinta Alam
5. Genitas Pendaki Gunung
6. Pendaki Gunung sebagai Ahli Sosial

1. Definisi Disiplin Sosial
Disiplin sosial adalah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat dan individunya yang metode kesimpulannya berlandaskan fakta-fakta kualitatif dan kuantitatif. Ada Sosiologi. Antropologi. Psikologi dan lain sebagainya.

2. Siapa Pendaki Gunung
Ribuan orang baik muda, tua bahkan anak-anak mendaki gunung di setiap tahunnya. Hingga kini tak sedikit jumlah kecelakaan yang mengakibatkan trauma, cacat fisik, bahkan kematian dari aktivitas mendaki gunung (termasuk merambah hutannya). Namun apakah setiap orang yang pernah mendaki gunung pantas disebut pendaki gunung? Ini pertanyaan yang sederhana namun sangat menarik dan tidak mudah menjawabnya.

Jawaban beragam akan terdengar dari lontaran pertanyaan ini, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang rumit.

Sederhananya adalah iya, karena sudah pernah mendaki gunung maka otomatis seseorang itu disebut pendaki gunung. Namun secara kualitatif menjadi rumit jika muncul pertanyaan lanjutan, yaitu seberapa tinggi gunung yang didaki, dan bagaimana manajemen pendakian yang dilakukan? Sejauh apa kemandirian yang dimiliki dalam pendakian? Apakah bisa survive bila terpisah dalam rombongan? Dan puluhan pertanyaan lanjutan berikutnya.

‘Jumhur ulama’ pendaki di Indonesia mengatakan bahwa seseorang disebut pendaki gunung jika telah mendaki gunung dengan ketinggian minimal 3,000 mdpl dengan manajemen pendakian yang rapi. Artinya skenario pendakian telah disusun dengan baik dan telah terjadi pembagian tugas di antara anggota kelompok mendaki jika pendakian dilakukan secara berkelompok. Seseorang disebut pendaki gunung juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan pendukung untuk bisa mendaki gunung tanpa menimbulkan cidera atau sakit.
Demikian juga seseorang disebut pendaki gunung jika telah memiliki sense of belonging dengan mampu membaca keinginan (cuaca, arah angin, kecepatan, dll) dari gunung tersebut.

3. Mereka yang disebut Pencinta Alam
Pencinta adalah orang yang sangat egois. Untuk menunjukkan atau membuktikan cintanya seringkali dengan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal.
Hal ini jelas bagi istilah pencinta alam atau seseorang yang disebut pencinta alam, maka egoisme-nya akan menuntunnya pada pembuktian kecintaannya pada alam. Seperti meluangkan waktu untuk berbagi dengan alam. Melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian seperti penanaman, konservasi, pendidikan, dan tentunya pemberdayaan pada masyarakat di sekitarnya.
Untuk menunjukkan eksistensinya, pencinta alam seperti orang beragama, mereka melembagakan dan membentukan simbol-simbol suci kecintaannya. Ada dogma juga. Indoktrinasi. Ada periodisasi ritual.
Ada adat, dan budaya yang terbentuk. Menarik untuk diteliti karena setiap tahun banyak berdiri klub dan komunitas penggiat alam bebas serta organisasi pencinta alam dimana banyak anggota baru terekrut dengan jumlah perkembangannya mengikuti deret ukur. Mereka semua berfokus pada kegiatan petualangan dan hanya sedikit yang bergiat pada kegiatan yang sifatnya pendidikan dan pelatihan dasar. Memang sangat jomplang, kegiatan pendakian mengikuti deret ukur dan kegiatan pendidikan dan latihan dasar mengikuti deret hitung. Mungkin inilah sebabnya tingkat kerusakan alam begitu luar biasa banyaknya seperti mengikuti deret ukur (jumlah perkembangan pendaki). Ironi!

4. Pendaki Gunung = Pencinta Alam
Banyak yang salah kaprah dalam dua istilah ini: pendaki gunung dan pencinta alam. Masyarakat umumnya memandang sama bahwa mereka-mereka yang mendaki gunung tentunya adalah pencinta alam. Sebagian besar para pendaki gunung juga nyaman dengan pandangan masyarakat umum bahwa mereka adalah pencinta alam. Padahal faktanya banyak pendaki gunung telah turut andil dalam kerusakan alam. Seperti kebakaran, meninggalkan sampah, perilaku vandalisme, juga berperilaku merusak tatanan sosial masyarakat gunung dan hutan seperti free sex dan mabuk-mabukan, mengambil tanaman bahkan plasma nutfah.

5. Genitas Pendaki Gunung
Dalam penelitian seorang psikolog India pada pendaki Gunung Everest yang menyatakan bahwa pencapaian seorang pendaki ke puncak adalah karena faktor gen. Seberapapun usaha dan keinginannya jika tidak memiliki gen seorang pendaki maka tidak akan sampai ke puncak. Pribadi dan perilaku pendaki gunung memang unik dan menimbulkan ekslusifitas. Ini yang cenderung menimbulkan pandangan ‘aneh-nyleneh’ masyarakat. Dan sampai disimpulkan sebagai faktor genitas.

6. Pendaki Gunung sebagai Ahli Sosial
Untuk menjadi seorang pendaki gunung baiknya juga menguasai disiplin ilmu sosial (praktis). Mendekati semacam kemampuan seorang sosiolog, antropolog, atau psikolog. Mengurangi ke-introvert-an dan ke-ekslusif-an. Mengapa demikian? Karena mendaki adalah perbuatan sosial yang individualis. Rusak tatanan sosial dan ekologi di dataran tinggi (hulu) maka berarti bencana bagi dataran rendah (hilir). Pendaki yang ahli sosial adalah upaya terbaik untuk mencegah terjadinya kerusakan tatanan sosial dan ekologi di gunung dan belantara.

Asumsi: ahli yang bisa mempraktikan keahliannya. Bukan OMDO-ngomong doang!

Akhir Januari 2017
~An

0 comments: